Sebagai ahli sejarah maritim Asia Tenggara, otoritasnya tak perlu diragukan lagi. Lewat karya-karyanya, beliau telah mendapat pengakuan dari banyak sejarawan. Sejarawan kondang Anthony Reid, misalnya, menyebut beliau telah mendemonstrasikan keahliannya sebagai sejarawan dengan sangat baik. Disertasi beliau, "Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX", membuka jalan bagi pengembangan kajian sejarah maritim di Indonesia dan Asia Tenggara yang tak bertepi. Berikut ini petikan wawancara kami (AKAR) dengan beliau pada 10 Oktober 2010.
Kami ingin memulai dari hal-hal umum, bagaimana cara menjadi penulis sejarah yang baik dan menyajikan tulisan sejarah yang menarik?
Itu Saya tidak bisa memberi resepnya karena Saya cuma belajar sejarah. Belajar menulis, ya sedikit saja. Tapi, setiap sejarawan memang harus bisa mengisahkannya, jangan disimpan sendiri. Hanya saja, Saya mempunyai keuntungan langka. Sebelum Saya masuk sejarah, Saya bekerja sebagai wartawan Indonesian Observer yang memberikan latihan menulis yang terbaik. Sebelumnya, saat di AMS pun, Saya juga dilatih menulis. Yang terpenting, kita mesti tahu dengan siapa kita berbicara. Misalnya, saat menulis tugas atau makalah ilmiah, kita menghadapi dosen. Jangan menulis yang mudah. Sementara, ketika kita menulis untuk majalah anak-anak, kita berhadapan dengan anak-anak, ya gaya bahasanya jangan terlalu sulit.
Bagaimana Bapak sampai tertarik dengan tema sejarah maritim?
Saya masuk jurusan Sejarah tahun 1956. Kala itu Saya masih bekerja untuk Indonesian Observer, surat kabar berbahasa Inggris. Untuk pekerjaan itu, Saya perlu latar belakang pengetahuan sejarah. Setelah itu, Saya bekerja di LIPI tahun 1958. Tahun 1961, Saya bertemu Pak Mahfudzi, pengkaji sejarah di angkatan laut. Dia bertanya apakah Saya tertarik dengan sejarah maritim, sebab dia sedang mencari teman. Selain itu, dia juga membaca karya-karya Saya, terutama skripsi Saya yang bertema maritim. Tapi, secara sadar, Saya baru memulainya saat bekerja di Angkatan Laut.
Dulu, Saya rasa, sejarah maritim kurang diperhatikan. Memang sudah ada diskusi dan orang yang mengkajinya seperti Van Leur. Tapi, mau dibilang sejarawan maritim juga bukan, meski ia memiliki kedekatan dengan laut karena sempat masuk angkatan laut dan ikut perang, Battle of The Java Sea. Ia tidak secara terbuka mengatakan dirinya sejarawan laut. Bersamaan itu, juga ada teori Alfred Mahan (siapa menguasai laut, maka menguasai dunia, red). Lalu ada diskusi sekitar itu, bagaimana melihat teori Mahan untuk menerangkan Indonesia. Di situ Saya rasa sudah ada benih-benih kajiannya. Dan kita juga jangan lupa, sejarah orang-orang Belanda melalui catatan-catatan pelayaran kapal-kapal VOC. Namun, memang belum bisa disebut sejarah Maritim, ya sejarah koloniallah.
Ya, Saya kira sama. Tidak ada beda antara aspek-aspek di laut dengan di darat. Sejarah itu kan tentang manusia, jadi sejarah maritim itu tentang manusia yang ada hubungannya dengan laut. Ada manusia yang hidup di darat, tetapi ada juga manusia yang hidup di laut. Ketimpangan ada di darat dan di laut. Di darat ada pembagian kerja, di laut pun demikian. Teknologi juga demikian. Di darat ada kebudayaan, sama juga dengan di laut. Cuma memang khas. Mereka juga sama-sama punya kesulitan dan tantangan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang-orang di laut mungkin memang khas daripada kesulitan orang-orang di darat.
Saya menggunakan pendekatan ilmu sosial, seperti antropologi dan sosiologi untuk penelitian mengenai orang Bajau karena mereka tidak mempunyai tulisan. Untuk pendekatan lain, tergantung aspek yang ingin dikaji. Pendekatan bahasa juga bisa diterapkan. Dan ini biasanya banyak digunakan. Banyak ungkapan dalam bahasa Indonesia yang menggambarkan kehidupan laut. Misalnya, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui; Berakit-rakit ke hulu; Dan banyak lagi. Ada ungkapan ” jangan lupa daratan.” Nanti orang laut juga bisa buat, “jangan lupa lautan”. Hahaha!
Kalau Saya ditanya seperti ini, Saya bisa menjawab puas. Sekarang sudah banyak teman-teman yang meneliti. Di Yogyakarta walaupun di pedalaman, banyak yang tertarik sejarah maritim. Di Semarang, Surabaya, Padang, Makasar apalagi. Gaungnya sudah bersambut. Berbeda waktu Saya memulainya dulu.
O, masih Banyak. Tentang perjuangan-perjuangan. Misalnya, saat Perang Diponegoro. Ketika itu, pasukan Diponegoro lari ke bukit karena dikejar Belanda. Itu terjadi di Kedu. Di atas bukit, terlihat kapal Padewakang (kapal Bugis). Entah apa perannya? Mungkin memasok senjata atau makanan. Saya tidak tahu. Sejarah maritim sendiri lekat dengan Total History. Cuma, ya tak semua aspek bisa diceritakan.
Nah, kalau soal itu, menurut Saya, sejarah itu sangat penting. Misalnya, sekarang orang banyak mencari, bahkan membangun bangunan bersejarah seperti benteng-benteng Portugis dan Belanda. Kalau sudah hancur, menurut Saya, itu tak perlu. Yang penting kita tahu disitu ada benteng. Ada ceritanya. Buat saja batu peringatan. Cukup. Kalau dari maritim, banyak hal yang bisa dilakukan. Di Eropa lebih senang ke laut. Orang darat pergi ke laut. Di Indonesia juga bisa, misalnya memberikan banyak cerita yang menarik soal maritim. Papua misalnya. Perahunya khas; Unik.
Oya! Soal maritim, itu banyak pelajaran bisa diberikan untuk anak-anak. Misalnya, cerita tentang kapal-kapal. Lalu, mereka dilatih untuk membuat miniaturnya dengan kayu. Hal seperti ini, bisa juga dimulai dari pramuka. Program lawatan sejarah baharinya Profesor Susanto Zuhdi juga bagus.
Saya juga cari tahu itu. Pak Djoko Marihandono (Dosen Program Studi Perancis FIB UI, red.)? Disertasinya tentang sejarah dan ada hubungannya dengan Daendels. Nah, Daendels ini terpengaruh ide-ide Revolusi Perancis, sentralisasi. Di Perancis, Paris menjadi sentrumnya. Berbeda dengan Nusantara. Dulu, sentrum-sentrum itu banyak seperti Sriwijaya, Goa, Makasar, Bugis, Ternate, Tidore. Itu disatukan semua di Batavia oleh Daendels. Dia juga hanya ingin mempertahankan Jawa. Ini berpengaruh besar ke depannya sampai sekarang, meskipun sudah ada prinsip Wawasan Nusantara. Ini prinsip yang bagus, yang mengatakan tiap jengkal dari tanah Indonesia sama. Jadi, biar dari pulau Miangas sampai Rote, sama.
Hahaha! Oya, tidak cuma kuliner laut saja, ya semua kuliner. Cuma memang, paling enak kuliner laut. Hahaha! Daya tarik pariwisata.
Kalau itu bukan mengkaji, hahaha! Cuma mendorong adanya kajian tentang itu. Misalnya, ikan tongkol. Ikannya sama, tapi rasa tongkol di Jakarta berbeda dengan rasa tongkol di daerah lain. Pengaruh bumbu dan cara memasaknya. Nah, ini budaya. Mengapa berbeda? Menarik untuk dikaji. Sambalnya pun berbeda. Tiap daerah rasanya berbeda. Penelitian ini bidangnya Pak Ong (almarhum Ong Hok Ham, Sejarawan UI, red.), bukan Saya, hahaha!
Hahaha! Ya, kesibukan yang enak-enak saja. Sesekali Saya masih menulis kata pengantar.