Senin 14 Mar 2016 16:22 WIB

BINCANG BISNIS- Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan: Kita Butuh Percepatan

Red: operator

Kementerian Keuangan mencoba untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Saat ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 1.360 triliun, meningkat dari pendapatan tahun lalu yang sebesar Rp 1.061 triliun.

Untuk mencapai itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebut, administrasi pajak sebagai kuncinya. Alasannya, penerimaan pajak hanya akan berhasil jika ada data dan informasi yang tersedia secara akurat. Di sisi lain, urusan data telah menjadi masalah yang belum terselesaikan di Indonesia.

Misalnya saja, banyak data yang dimiliki perbankan melalui rekening dari perusahaan ataupun perorangan yang sulit diakses. Hal ini membuat pemerintah tidak bisa mengira berapa jumlah kekayaan yang dimiliki oleh warganya. Alhasil, pemerintah menggunakan jurus mengandai-andai.

Kondisi ini masih jauh jika dibandingkan sistem perpajakan di negara lain, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Di negara Paman Sam, warga negara tidak bisa bermainmain untuk urusan pajak.

Bambang juga berbicara banyak terkait hal lain seputar pajak. Berikut perbincangan dengan Bambang saat berkunjung ke kantor Republika beberapa waktu lalu. 

 

Bagaimana sebenarnya kinerja Ke menterian Keuangan? 

Kita berangkat dari sisi esensi dulu. Ang garan itu esensinya ada dua, penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan datang dari pajak, baik pajak PPh, PPN, maupun bea dan cukai yang mencakup bea masuk ataupun bea keluar. Saat ini Kementerian Keuangan memiliki pemasukan sekitar 70-75 persen dari pajak untuk total penerimaan negara. Jika ditambah pajak dari bea dan cukai, bisa sampai 80-85 persen. Sebanyak 15 persen ini masuk dari minyak dan gas (migas). Tapi, sekarang migas ini agak turun di angka 10 persen. 

Bagaimana mengelola keuangan yang sangat besar dari sisi pajak ini? 

Penerimaan negara dari pajak memang sa ngat besar. Tapi, ini bukan berarti kita me miliki kemudahan dalam mengelola keuangan. Karena selain menerima, kita juga harus cepat dalam melakukan pengeluaran. Tugas ini kelihatannya saja simpel dan administratif, tapi kalau dilihat esensinya, ini luar biasa. Di satu sisi, penerimaan ini menjadi gantungan utama negara, di sisi lain pengeluaran kita diminta jangan menjadi penghambat dan harus adil. 

Target pajak tahun ini? 

Untuk pajak saat ini Kementerian Keuang an menargetkan penerimaan mencapai Rp 1.360 triliun. Tapi, satu hal yang paling penting sebenarnya bukan angka yang kami targetkan, melainkan ada tax ratio, atau tax dibagi GDP atau gross domestic product (total nilai penjualan barang). Nah dengan melihat GDP yang terus meningkat, seharusnya pajak juga meningkat dan lebih dari angka ini. 

Memang seharusnya bagaimana? 

Saya sudah menghitung dengan pengertian sempit. Sekarang penerimaan pajak kita ditar get Rp 1.360 triliun, ini tax ratio mencapai 11,8 persen. Tahun lalu kita dapat Rp 1.061 triliun, ini tax ratio-nya hanya 10,8 persen, hanya naik satu persen. Tapi, ini sendiri jauh bikin takut orang, targetnya tercapai atau tidak. Padahal yang harus dilihat ini potensi pajak kita seha rusnya bisa lebih tinggi. 

Di negara lain seberapa besar? 

Untuk ASEAN, kebanyakan mencapai 13- 14 persen tax ratio-nya. Di negara maju, ini bisa sampai 15 persen. Kita memang tidak membandingkan tax ratio dengan negara lain secara langsung. Mengapa? Karena kalau kita melihat negara di Eropa, mereka mematok pajak tertinggi di angka 75 persen. Sedangkan kita, tarif tertinggi baru 30 persen untuk individu, tidak akan terkejar. 

Nilai ini masih jauh dari tax ratio yang seharusnya? 

Dengan nilai tax ratio 11,8 persen, jelas ini masih di bawah potensi penerimaan pajak. Nah sekarang pertanyaannya, mengapa kita tidak bisa mencapai potensi ini? Masalahnya ada di administrasi pajak. Mengapa? Karena peneri maan pajak hanya akan berhasil kalau ada data dan informasi yang tersedia dan akurat. 

Apa maksud tersedia dan akurat? 

Begini. Pertama, Kementerian Keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak mesti memiliki data yang tersedia secara baik. Kalau sudah ada, data ini harus akurat. Di Indonesia ini yang menjadi big problem. Banyak data yang dimiliki perbankan melalui rekening dari perusahaan ataupun perorangan yang sulit diakses. Hal ini membuat kita tidak bisa mengira berapa jumlah kekayaan yang dimiliki mereka, karena kita tidak memiliki data dari rekening perbankan. Kita hanya mengandaiandai jadinya. Hanya mengkhayal. 

Apa itu artinya data perbankan sa ngat membantu? 

Dengan kerapian data bank yang sudah ber langsung lama, ini sebenarnya menjadi penghambat utama kita untuk mendapatkan potensi pajak secara maksimal. Karena data yang baik tersebut justru tidak tersedia di kita. 

Kalau PPATK? 

Banyak pihak memang menyarankan un tuk menggunakan PPATK. Tapi kalau PPATK, ini hanya masalah transaksi dari satu akun ke akun lain. Bahkan, tidak bisa masuk ke tran saksi di akun sendiri. Kita juga tidak tahu transaksi ini haram atau halal dan sudah bayar pajak atau belum. Jadi, informasi ini sangat terbatas. Dengan keterbatasan informasi itu jelas memotong kemampuan kita meng him pun pajak.

Negara lain bagaimana? 

Kita bandingkan sistem perpajakan di Amerika yang sangat baik. Di Amerika, kita tidak melakukan apa-apa saja bisa ketahuan berapa gaji kita. Ini membuat kita tidak bisa main-main dengan perpajakan mereka. Misal, ada perorangan yang mendapatkan penghasil an tanpa dipotong pajak. Saat mereka tidak membayar pajak, mereka akan langsung di kirimi surat.

Surat itu berisi perkataan seperti ini, "Me nurut data kami, di akun bank Anda tidak ditemukan catatan pembayaran pajak. Tolong dijelaskan!". Dengan surat ini, orang lebih baik membayar pajak ketimbang harus menjelas kan dan malah bermasalah. Di Jepang juga begitu.

Berarti banyak yang tidak mengerti alasan sulitnya mencapai pajak? Sekarang begini. Banyak pengamat luar negeri bertanya, mengapa pendapatan pajak di Indonesia sangat rendah. Saat saya papar kan bahwa kondisi di Indonesia seperti seka rang dan pemerintah sangat sulit melakukan akses di bank, mereka akhirnya mengerti. 

Apakah perbankan sesulit itu? 

Sampai tahun lalu, masih ada keengganan perbankan untuk mulai membuka akses ini. Me reka menganggap hal ini merupakan jual an nya mereka. Dan ini bukan hanya dilakukan perbankan luar negeri. Perbankan dalam negeri juga banyak yang melakukan ini. 

Kalau memang susah, mengapa kita tidak mendorong perbankan membuka akses? 

Kita harus melakukan revisi Undang-Un dang Perbankan. Kita memang sedang meng usahakan revisi UU Perbankan tahun ini. Kalau tidak, ya tahun depan. Kita juga sedang mengusahakan revisi UU KUP, karena ini nantinya akan sinkron dengan UU Perbankan. 

Penerimaan kita cukup sulit, bagai mana dengan sisi pengeluaran? 

Saya jelaskan dulu mengapa kita meng ambil pendekatan dengan cara defisit. Indo nesia ini sekarang merupakan negara berkem bang. Kita masih butuh banyak pertumbuhan. Kita bukan negara maju yang tingkat per tumbuhannya sudah jenuh. Kita masih sangat potensial. Untuk tum buh, kita butuh yang namanya percepatan. Dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih banyak, belum dengan ketim pangan yang ada, jangan pikir untuk mengu rangi hal tersebut itu mudah. 

Pertumbuhan seperti apa? 

Pertumbuhan ini banyak faktor. Bisa ditunjang dengan konsumsi rumah tangga atau yang besar melalui investasi, baik peme rintah maupun swasta, di bidang infrastruktur, misalnya. Ekspor barang juga bisa mening katkan pertumbuhan kita. Tapi, pemerintah ju ga jelas harus ada kontribusinya melalui belanja modal. 

Jadi, bagaimana seharusnya sistem pengeluaran kita? 

Hampir seluruh negara di seluruh dunia ini melakukan pembiayaan defisit. Mereka melakukan budget deficit maksudnya. Dengan budget deficit, ini akan berpengaruh pada pertumbuhan kita. Karena dengan cara ini, belanja negara akan lebih banyak. 

Ada contoh lebih mudah untuk ini? 

Misal, kita hanya mempunyai dana untuk belanja dengan jumlah X. Namun, kita ingin berbelanja lebih dari dana X tersebut, dengan asumsi kita akan melakukan belanja lebih besar. Untuk menutupi defisit ini, kita pasti harus melakukan utang. Ini yang dilakukan oleh negara 

Cara mencari utang itu? 

Nah ini adanya pasar utang. Menutupi ini bisa dengan surat utang negara, baik yang dijual di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, kita juga menerbitkan bond (obli gasi) dan pinjaman. Pinjaman ini bisa dilaku kan ke Bank Dunia, ADB, Bank Jepang, Bank Jerman, serta Bank Prancis. Bank-bank ini merupakan pemberi pinjaman terbesar untuk Indonesia. 

Ini sehat untuk Indonesia? 

Budget deficit Indonesia sebenar nya masih terbilang kecil. Kita masih 2,53 persen pada 2015. Ini masih kecil dibanding dengan negara tetangga yang memiliki budget deficit mencapai tiga hingga empat persen. Thailand memang cuma satu persen, tapi dia sempat menyentuh angka empat persen. Malaysia ini empat persen, Brasil tujuh persen, Rusia lima persen. Saya belum sebut negara maju. Mereka lebih gede lagi, seperti Amerika dan Jepang. 

Selain dengan budget deficit? 

Ukuran yang satu lagi adalah utang per PDB. Utang per PDB Indonesia ini hanya 27 persen. Negara seperti Jepang sudah mencapai 200 persen, Amerika 100 persen, ini utangnya sebesar GDP-nya, Jepang malah dua kalinya. Negara Eropa ini bergerak di angka 80-90 persen. Negara ASEAN juga ada yang bergerak di atas kita. 

Berarti menambah utang ini bukan menjadi kesalahan? 

Jadi, kita melakukan strategi untuk defisit. Dengan defisit artinya kita harus menambah utang, kecuali kalau kita punya surplus. Posisi pembayaran utang kita saat ini berada pada Rp 180 triliun, tapi paling tidak belanja modal kita sekarang ini lebih dari pembayaran bunga utang. Bahkan, transfer ke daerah sudah jauh dari pembayaran utang.

Untuk menjaga agar utang tidak membeludak? 

Untungnya kita mempunyai undangundang yang mengatur semua ini. Jadi negara mempunyai batas untuk memiliki utang. Malah banyak negara yang tidak memiliki aturan tersebut, jadi mereka melakukan utang terus. Budget deficit kita ada di angka tiga persen dan untuk utang per GDP ada di angka 60 persen. Debbie Sutrisno, ed: Mansyur Faqih 

 

 

*** 

 

Tax Amnesty 

Tak Akan Mencederai Pemerintah telah memasukkan draf undangundang untuk pembahasan kebijakan pengampunan pajak atau lazim disebut tax amnesty (TA). Namun, kebijakan yang diyakini bisa meningkatkan penerimaan pajak ini justru banyak disalahartikan.

TA dianggap hanya memberikan kemudahan kepada mereka, baik perusahaan maupun perorangan, yang tidak taat wajib pajak. Sementara yang telah taat pajak merasa dicurangi dengan kebijakan tersebut.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menjelaskan, nama pengampunan pajak diartikan bahwa peserta wajib pajak akan diampuni dalam pelaporan wajib pajak yang tertera dalam surat pemberitahuan (SPT), yang harus melaporkan nilai penghasilan dan aset yang mereka miliki. Sehingga pemerintah bisa menerka, apakah pajak yang dia bayarkan sudah sesuai dengan pendapatan serta asetnya atau tidak.

 

Bambang mengatakan, sejak 1970-an, Indonesia sangat kaya dalam hal minyak dan gas serta sejumlah komoditas lain. Pada era 2000-an, ekspor kelapa sawit (CPO) dan bahan tambah menjadi sangat populer. Sayangnya, peningkatan ekspor itu tidak terlihat secara stastistik melalui valas yang beredar.

Artinya, setiap tahun pertumbuhan ekspor meningkat, tapi nilai ini tidak terlihat di Indonesia. Dengan demikian, mereka para pelaku usaha ini bisa saja memarkir dana mereka di luar negeri. Melihat kondisi itu, Bambang berharap pada 2017 dan seterusnya akan ada basis pajak yang lebih jelas. Untuk menunjang, harus ada data yang akurat. Data ini nantinya akan datang dalam TA.

Melalui TA, orang akan melaporkan harta bersih yang selama ini tidak dilaporkan dalam SPT. Jadi, bukan hanya income, melainkan juga aset yang mereka miliki, baik di dalam maupun luar negeri.

"Mereka bisa membayar pajak untuk aset yang belum masuk mulai dari dua hingga enam persen, bergantung masa pembayaran saat tax amnesty ini bergulir. Ini lebih mudah dan murah," kata Bambang saat berkunjung ke kantor Republika belum lama ini. Kelebihan lain dari TA, kata dia, para wajib pajak akan dijamin kerahasiaannya. Ditjen Pajak tidak akan membuka semua wajib pajak di TA ke publik. Kalau ada wajib pajak yang datanya terbongkar, para pegawai pajak yang akan kena hukuman lima tahun penjara.

Menurut dia, data ini juga nantinya tidak bisa dijadikan bukti pemeriksaan ataupun permulaan dalam pemeriksaan bukan perkara, penyidikan, dan penyelidikan. Walaupun demikian, para wajib pajak bukan berarti tidak bisa dihukum pidana saat aset atau uang yang mereka miliki didapat dari hasil korupsi. "Tapi, data di Ditjen Pajak tidak akan bisa diakses untuk hal seperti itu."

Di sisi lain, kata Bambang, program sejumlah negara untuk melakukan keterbukaan data dari perbankan pada 2018 akan lebih memudahkan para wajib pajak. Karena jika tidak menggunakan TA pada waktu dekat, mereka akan mendapatkan hukuman untuk membayar pajak lebih banyak. Mereka akan membayar pajak secara normal ditambah maksimal 48 persen dari semua pendapatan dan aset.

"Ini yang kita dorong. Ini akan memberikan kesempatan yang baik untuk wajib pajak," kata Bambang.

Dengan kebijakan ini, Bambang yakin kalau TA tidak akan mencederai pihak manapun. Malah justru akan memberikan kebaikan bagi penerimaan pajak pada masa mendatang lantaran data yang didapat dari TA, bisa digunakan untuk penerimaan pajak pada tahun selanjutnya. rep: Debbie Sutrisno, ed: Mansyur Faqih 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement