Jumat 20 Jun 2014 12:00 WIB
fatwa

Kaidah Menutup Lokalisasi Prostitusi

Red:

Penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya menyita banyak perhatian. Bagaimana tidak, langkah berani Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendapat perlawanan yang cukup kuat dari penghuni Gang Dolly. Wajar jika banyak kepentingan yang terusik karena putaran uang dalam kegiatan prostitusi sangat besar.

Diperkirakan ada hampir 1.449 pekerja seks komersial (PSK) di lokasi yang konon merupakan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu. Yang menolak beranggapan, justru prostitusi harus dilokalisasi di tempat tertentu. Agar kemaksiatan tersebut tidak mengganggu kepentingan orang lain dan bisa dikontrol. Namun, apakah ide melokalisasi kemaksiatan merupakan sebuah jalan keluar?

Khusus tentang lokalisasi prostitusi, ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengeluarkan fatwa yang masih bisa dibilang baru saat Sidang Komisi Bahtsul Masail di Boyolali 2004. Dalam sidang komisi yang diketuai Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Munawar itu alasan melegalkan lokalisasi prostitusi tak termasuk tindakan taghyir al-munkarat (mencegah kemungkaran).

Secara tegas, forum ulama NU tersebut menyebut langkah taghyir al-munkarat yang tepat, yakni dengan menutup tempat lokalisasi kemaksiatan baik prostitusi, minuman keras, maupun judi.

Mengenai prostitusi yang masuk kategori zina, banyak ayat di dalam Alquran yang tegas melarangnya. Perbuatan zina adalah tindakan yang sangat keji, bahkan mendekatinya saja sudah dilarang. "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk." (QS al-Israa [17]: 32).

Dalam ayat lain, zina disejajarkan dengan perbuatan-perbuatan dosa besar. seperti syirik, membunuh, durhaka kepada kedua orang tua. "...dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi...(QS al-An’am [6]: 151).

Ibnu Abbas, al-Dhahhaq, dan al-Suddy sepakat tafsir atas perbuatan keji dalam ayat tersebut merupakan zina. Dalam tafsir Ruh al-Ma’any disebutkan pemakaian kata plural (keji) untuk zina, yakni untuk mengungkapkan betapa kejinya perbuatan tersebut. Selain itu, untuk menerangkan jika jerat-jerat setan dalam menjungkalkan manusia ke dosa zina sangat banyak. Bahkan, dipertegas dengan keterangan yang dilakukan secara jelas maupun sembunyi-sembunyi yang bermakna banyak dilakukan berbagai kalangan. Bahkan, para ulama menyebut dilakukan terang-terangan, seperti yang terjadi di lokalisasi.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menekankan agar setiap orang bisa mengubah kemungkaran yang ia lihat. Jika ia mampu, ia harus mengubah dengan tangan; jika tidak, ia bisa mengubahnya dengan lisan, dan jika tak kuat, ia bisa mengubah dengan berdoa dalam hati. Meski yang terakhir merupakan bentuk kelemahan iman.

Kitab Al-Tasyri al-Jinai al-Islami menerangkan, hadis tentang mengubah kemungkaran itu hanya berlaku bagi kemaksiatan yang secara kasat mata atau fisik jelas dilakukan. Adapun perbuatan maksiat dengan hati bahkan lisan masuk wilayah yang tidak mampu diubah. Pelacuran dalam keterangan ini masuk tindakan kemaksiaatan yang tampak sehingga wajib untuk diubah.

Kitab Al-Ahkam as-Shulthaniyah bahkan lebih tegas menyebut hukum pelacuran. Prostitusi termasuk transaksi munkar dan tidak bisa dikategorikan jual beli. Bentuk transaksi tersebut dilarang oleh syariat meskipun terjadi saling rela antara pelakunya. Dalam kitab ini juga ditegaskan menjadi kewajiban pemerintah untuk melarang dan menjatuhi hukuman. Penjelasan dalam kitab tersebut menjabarkan jika praktik prostitusi bukan sebuah pekerjaan dan tidak terkait dengan aktivitas ekonomi. Sedangkan, tindakan pemerintah untuk menutup lokalisasi pelacuran sesuai dengan kaidah syariat.

Bagaimana dengan aktvitas yang tak terkait secara langsung dengan zina, seperti pedagang dan pemilik wisma di sekitar lokalisasi prostitusi? Dalam kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam dijelaskan jika sebuah sarana yang mengantarkan seseorang kepada maksud yang lebih buruk, hukumnya lebih buruk dari sarana kemaksiatan. Contohnya, sarana yang menyebabkan orang melakukan perzinaan lebih buruk dari sarana yang menyebabkan orang mencari nafkah dengan cara batil. Mencari nafkah dengan sarana batil merupakan keburukan apalagi melakukan aktivitas ekonomi yang mendukung perzinaan.

Namun, dalam mengubah sebuah kemaksiaatan, pemerintah atau hakim tidak bisa serta-merta langsung menurunkan kekuatan dan menjatuhkan hukuman. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut ada beberapa fase dalam mengubah kemaksiatan. Pertama mengenali, selanjutnya membuat kesimpulan, lalu tindakan pelarangan, kemudian memberikan nasihat, berlanjut ke memberikan sentilan dan celaan, baru melakukan aksi dengan kekuatan, ancaman, dan menjatuhkan hukuman. Bahkan, pada level terakhir diperbolehkan menguasai dengan mengerahkan pasukan. rep:hafidz muftisani

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement