Syiar Ramadhan tak hanya dirasakan di gemerlap masjid perkotaan. Nun jauh di daerah perbatasan negeri, para dai dengan ikhlas menyusuri pedalaman untuk menghidupkan Ramadhan.
Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi saksi banyak hijrahnya warga Timor Leste ke Indonesia karena menjadi mualaf. Dai Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Atambua, Ustaz Achwan, sudah 14 tahun menetap dan mengabdikan diri berdakwah di Atambua.
Ia harus naik turun gunung dan menjangkau daerah yang luas karena minimnya dai di daerah sana. "Saya mengasuh sekitar 500 mualaf," ujarnya kepada Republika. Beruntung, saat Ramadhan, kegiatan keagamaan jauh lebih semarak. Artinya juga, Achwan harus nonsetop berdakwah ke pelosok. "Kami berdakwah usai shalat Subuh, menjelang berbuka puasa, dan setelah shalat Tarawih," katanya.
Achwan bersyukur Ramadhan kali ini ia mendapat bantuan dari dai mahasiswa STID Mohammad Natsir. Lima dai mahasiswa disebar ke titik-titik pedalaman untuk membantu Achwan menyebarkan ajaran Islam. Tanggapan positif diterima oleh masyarakat di sana ketika dai DDII datang. Namun, kendala datang dari minimnya dukungan pemerintah setempat. "Mengingat daerahnya minoritas Muslim," ujar Achwan.
Padahal selain berdakwah, Achwan mengungkapkan, dai-dai ini diwajibkan untuk membantu perekonomian warga binaannya. "Saat ini, ada 18 kelapa keluarga yang diberi ternak untuk usaha," kata Achwan.
Dai mahasisawa dari STID Mohammad Natsir, Ustaz Tamamur Ridhla, menyebut antusias belajar agama masyarakat Atambua sangat tinggi. "Masih dibutuhkan banyak dai di sini," ujarnya yang sudah dua pekan berada di Atambua. Selama Ramadhan, Tamamur bertanggung jawab menjadi imam shalat Tarawih maupun shalat wajib di tiga Desa, Atapupu, Sukamitetek, dan Atambua.
Selain berdakwah, Tamamur juga membantu mengajar SD Islam dan MTS yang ada di Atambua. Ia juga membantu dalam membangun sumur bagi warga Atambua.
Selama di Atambua, kendala yang paling dirasakan Tamamur, yakni sulitnya penerangan. Listrik di sana sangat terbatas, begitu juga transportasi untuk ke pelosok.
Mualaf di Atambua sendiri juga sangat sulit berjuang. Tamamur mengisahkan saat seorang menjadi mualaf tak sedikit yang diusir keluarga dan dicemooh masyarakat.
Beda di Atambua, beda pula di Sambas, Kalimantan Barat. Daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini semarak dalam menyambut Ramadhan. Bahkan, menurut dai DDII di Sambas, Ustaz Satono, tak jarang ia juga mengisi dakwah di daerah Malaysia. "Penduduk Malaysia juga banyak shalat Jumat di Sambas," kata Satono.
Di Sambas, 99,99 persen warganya Muslim Melayu. Masyarakat Indonesia dan Malaysia pun saling berdampingan dalam hidup beragama. Pemerintah Kabupaten Sambas sangat mendukung kegiatan keagamaan di daerahnya. Ustaz Sartono memiliki lembaga pendidikan dakwah bagi putra daerah Sambas.
"Kami sediakan asrama untuk mendalami dakwah selama dua tahun, setelah itu mereka harus kembali ke daerahnya untuk menyebarkan dakwah," ujarnya.
Ustaz Satono mengungkapkan bahwa dai yang disiapkannya diharapkan dapat mencapai tiga tujuan utama. Pertama, ikut serta mengawal pemerintah dalam menjaga kesatuan NKRI. Kedua, ikut membantu mencerdaskan anak-anak bangsa dan ketiga, membina anak-anak perbatasan memberantas buta huruf Alquran. Setiap Ramadhan, Ustaz Satono bersama dai yang menetap di Sambas menyelenggarakan safari Ramadhan.
Kepala Pesantren Hidayatullah di Kabupaten Timika, Papua, Syakir, menambahkan, para dai di Papua saat ini tengah sibuk bersafari Ramadhan mengisi ceramah dari masjid ke masjid. Seperti halnya di kota-kota lainnya, di Timika sendiri antusias umat Islam untuk belajar agama pada bulan Ramadhan sangat tinggi dibanding hari biasa.
"Semarak Ramadhan di sini luar biasa dari hari pertama sampai hari ini. Semua berjalan lancar, aman, tertib, dan tolerasi umat beragama cukup bagus. Agama lain cukup menghormati," katanya.
Ia mengungkapkan, Pemda Timika dan jajarannya yang kebanyakan non-Muslim bahkan ikut andil dalam safari Ramadhan. Mereka ikut keliling dari kampung ke kampung untuk menyapa umat Islam yang tengah menjalankan ibadah puasa.
"Kita di sini banyak kegiatan. Sekolah kita ada pesantren kilat untuk anak-anak. Banyak yang mengadakan buka puasa bersama juga. Walau pimpinan di sini agamanya Nasrani, tapi dia juga ikut buka bersama," ujarnya.
Menurut Syakir, warga Muslim di Kabupaten Timika memang membutuhkan penambahan dai. Mengingat, banyak binaan mualaf yang belum terkelola dengan maksimal.
Di Timika sendiri baru ada tiga orang dai yang mengabdi di Ponpes Hidayatullah. Sedangkan, warga mualaf di Timika ada sekitar 50 kepala keluarga. Pesantren Hidayatullah sudah dipercaya warga Timika sebagai rujukan para dai dan mubaligh.
"Kita di sini ada masjid bernama Masjid Al Haq. Ada TK dan SD. sorenya anak-anak belajar di TPQ. Di samping itu ada kajian bagi ibu-ibu," katanya. Ia mengharapkan, ada donatur yang berkenan membantu buku-buku bagi para siswanya dan para mualaf yang ada di Timika.
Ulama Papua, Ustaz Abdul Shamad Mahuze, mengatakan, bantuan para dai yang datang dari luar Papua memang sangat dirasakan kehadirannya. Ia mengatakan, saat di tempatnya di Kabupaten Asmat, sangat terbantu oleh para dai yang datang dari Sukabumi.
"Kegiatan yang berjalan saat ini dikelola oleh dai yang kita datangkan dari luar, yaitu dari Sukabumi," ujarnya. Mahuze mengatakan, saat ini ia bersama rekan-rekannya tengah mempersiapkan iktikaf yang akan digelar di Masjid An Nur Kabupaten Asmat. rep:ratna ajeng tejomukti/hannan putra ed: hafidz muftisany