"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Itulah kata pertama yang keluar dari lisan khalifah pertama umat Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq RA. Ucapan itu sama bunyinya ketika seorang ditimpa suatu musibah. Artinya, semua berasal dari Allah dan pada saatnya akan kembali kepada-Nya. Diangkat menjadi seorang pemimpin negara bagi Abu Bakar sama halnya dengan ditimpa suatu musibah.
Abu Bakar ingat betul pesan Rasulullah SAW kepadanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak serta melaksanakan tugas kewajibannya." (HR Muslim).
Dengan dukacita, ia sampaikanlah pidato kenegaraan di hadapan Muslimin. "Wahai umat, aku telah diangkat untuk memerintahmu. Sebenarnya aku terpaksa menerimanya. Aku bukanlah orang yang terpandai dan termulia dari kamu. Bila aku benar, dukunglah bersama-sama, tetapi jika aku menyimpang dari tugasku, betulkanlah bersama-sama. Jujur dan lurus adalah amanat sedangkan bohong dan dusta adalah pengkhianatan."
Demikianlah kelurusan seorang Abu Bakar. Ia sangat berhati-hati dengan amanah yang dibebankan di pundaknya. Kekuasaan bukanlah alat untuk memperkaya diri dan menimbun harta untuk kepentingan pribadi. Ia tetap hidup sederhana dan bersahaja sebagaimana sebelum ia menjadi khalifah.
Abu Bakar pernah blusukan ke Pasar Madinah dengan mengenakan pakaian dari kulit kambing. Keluarga Abu Bakar yang memang orang berada tentu protes keras dengan penampilan Abu Bakar yang sangat sederhana itu. Pantaskah seorang khalifah memakai pakaian dari kulit kambing? "Hai khalifah, engkau sungguh membuat malu kami di mata kaum Muhajirin, Anshar, dan orang Arab," protes keluarganya. Abu Bakar dengan entengnya menjawab, "Apakah kamu ingin agar aku menjadi seorang raja yang angkuh pada zaman Jahiliyah dan angkuh pada zaman Islam?"
Fasilitas yang diberikan negara padanya hanya dipergunakan untuk tugas kenegaraan pula. Tak pernah ia jadikan untuk kepentingan bersifat pribadi. Suatu saat nanti, ketika ia sudah tidak menjadi khalifah, semua fasilitas negara harus dikembalikan. Inilah yang dipesankan Abu Bakar menjelang sakaratul maut kepada putrinya, Aisyah.
"Wahai Aisyah, unta yang kita minum susunya, bejana tempat kita mencelupkan pakaian, dan baju qathifah yang saya pakai, semuanya hanya dapat kita gunakan selama saya menjabat. Bila nanti ayahmu meninggal, seluruhnya harus dikembalikan kepada Umar," pesannya. Benar saja, ketika Abu Bakar telah tiada, putrinya mengembalikan seluruh inventaris negara kepada Umar bin Khattab.
Menjadi kepala negara tak membuat Abu Bakar menjadi asing bagi orang-orang di sekelilingnya. Kendati dua negara adidaya, Syiria dan Persia, telah ditaklukkannya, ia tetap mempunyai waktu bersama orang-orang sekitarnya. Ia tak lantas menjadi orang super sibuk yang tak kenal lagi dengan rakyat jelata.
Seorang wanita kampung, Unaisar, pernah memintanya untuk memerah susu kambing. "Wahai Abu Bakar, apakah engkau masih dapat menolong kami memerah susu kambing seperti sebelum menjadi khalifah?"
Dengan segera Abu Bakar pun menyanggupinya. "Insya Allah, saya akan tetap bersedia menolongmu, ibu," jawabnya. Tak ada yang membebaninya kendati ia adalah seorang kepala negara yang tersohor dan disegani di seantero Timur Tengah.
Dari Abu Bakar, kita belajar makna sebenarnya tentang kepemimpinan. Jabatan bukanlah barang yang diobral di pasar-pasar. Kedudukan bukan barang yang menjadi rebutan. Terlebih, posisi sebagai pemimpin sebuah negeri. Semakin besar tanggung jawab pemimpin, semakin besar pula yang akan dihisab di akhirat nanti. Dari Abu Bakar, kita belajar makna sebenarnya tentang kesederhanaan pemimpin. Jabatan tinggi tak melupakannya dari hak bertetangga. Jabatan selangit tak menjadi legitimasi menggunakan fasilitas negara seenak hati.
Sebenarnya sudah banyak pemimpin uswatun hasanah yang sudah dilahirkan negeri ini. Seperti yang dicontohkan Haji Agus Salim. Kendati ia adalah menteri, sifat kesederhanaannya membuatnya hidup apa adanya. Ketika salah satu anaknya meninggal, ia bahkan tak punya uang untuk membeli kain kafan. Akhirnya, ia memakai taplak meja dan kelambu yang kebetulan berwarna putih. Adakah saat ini menteri yang sesederhana itu? Semoga sang presiden baru bisa meneladani orang-orang besar seperti Abu Bakar dan Haji Agus Salim. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany