OJK membuat aturan bank tanpa kantor cabang.
BANDUNG -- Indonesia memiliki jumlah penduduk paling besar di Asia Tenggara. Sayangnya, penetrasi keuangan Indonesia masih kalah dibandingkan negara lain anggota ASEAN.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, indeks literasi (pengetahuan) keuangan di Indonesia hanya 21,7 persen. "Penetrasi di Filipina sudah di atas 30 persen dan Malaysia 60-70 persen," kata Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sri Rahayu Widodo di Bandung, Sabtu (23/8).
Tingkat literasi ini tergolong rendah. Masyarakat di Indonesia dinilai belum begitu memahami produk-produk keuangan, seperti bank, asuransi, dan pasar modal. Tingkat literasi yang rendah ini disebabkan kurang imbangnya tingkat pertumbuhan industri jasa keuangan dan kesadaran masyarakat terhadap produk keuangan.
Di tengah industri keuangan yang berkembang pesat, masih saja ada masyarakat yang memilih menyimpan uang di rumah.
Industri keuangan dan produk-produknya sangat dinamis. Dari tahun ke tahun, industri ini terus berkembang. Harusnya, masyarakat juga ikut memperbarui pemahamannya atas jasa keuangan.
Rendahnya literasi ini, kata dia, tentu akan merugikan masyarakat sendiri. Masyarakat akan mudah tertipu karena tidak memahami produk-produk keuangan yang terus berkembang. Misalnya, seperti penawaran produk kartu kredit.
Banyak penawaran yang tidak sepenuhnya dipahami masyarakat. Sehingga, masyarakat akan terjerumus pada ketentuan-ketentuan yang malah dianggap sebagai penipuan. "Itulah pentingnya literasi keuangan dilakukan terus-menerus," ujar Sri.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan peraturan terkait bank tanpa kantor cabang atau branchless banking. Aturan ini dibuat untuk menyempurnakan sistem bank tanpa kantor cabang yang sebelumnya telah dikembangkan Bank Indonesia (BI) dalam rangka inklusi keuangan.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Gandjar Mustika mengatakan, branchless banking dikembangkan dengan tujuan meningkatkan indeks literasi masyarakat. "Branchless banking bertujuan untuk menjangkau konsumen yang lebih luas," kata Gandjar, akhir pekan lalu.
Salah satu yang dibahas dalam aturan tersebut adalah terkait kesiapan bank. Bank diminta untuk memiliki infrastruktur yang kuat, terutama di bidang teknologi informasi.
Selain itu, bank juga harus memiliki jaringan yang luas sampai ke Indonesia Timur. Hal ini bertujuan agar tingkat melek keuangan merata di seluruh Indonesia, termasuk wilayah timur.
Karena, disyaratkan harus memiliki kesiapan infrastruktur dan jaringan, OJK mengimbau bank peserta branchless banking minimal dari bank umum kelompok usaha (BUKU) II. Bank dengan kategori ini memiliki modal inti Rp 1 triliun sampai dengan kurang dari Rp 5 triliun.
Bank BUKU I dinilai agak sulit mengikuti program ini karena bank harus memiliki layanan mobile banking dan jaringan yang luas. OJK juga mengatur tentang agen bank peserta branchless banking.
Agen yang direkrut bank bukan sembarang. Bank harus memastikan orang yang menjadi agennya sesuai dengan syarat yang telah ditentukan. Salah satu syarat adalah memiliki usaha di lokasi yang tetap dan telah tersertifikasi bank terkait. "Karena, agen ini merupakan kepanjangan tangan bank," kata Gandjar.
OJK melihat, sah-sah saja apabila satu orang menjadi agen untuk lebih dari satu bank. Namun, untuk tahap pertama, OJK menyarankan satu orang menjadi agen satu bank saja. Apabila sistem ini semakin berkembang, bisa saja satu orang menjadi agen untuk beberapa bank.
OJK masih menggodok aturan ini, sehingga masih memungkinkan berubah. Otoritas telah meminta masukan-masukan dan sedang dalam proses penyelesaian. Aturan ini diharapkan selesai pada akhir 2014. "Kita lihat terus karena nanti akan ada ukuran keberhasilannya," ujar Gandjar.
rep:friska yolandha ed: teguh firmansyah