Dellie Threesyadinda masih berusia tujuh tahun ketika mulai mengenal panah dan busurnya. Hanya berselang enam bulan setelah latihan intensif memanah, ia menjajal kemampuannya dalam ajang prajunior di Bojonegoro, Jawa Timur. Hasilnya, tidak tanggung-tanggung medali emas berhasil diboyong pulang.
"Dari kecil sudah dikenalkan sama Mama, sering diajak ke lapangan. Lihat Mama aku jadi pengen dan langsung dilatih Mama. Setelah dapat emas di umur tujuh tahun, mau ikut panahan lagi," ujar Dinda, sapaan akrabnya.
Olahraga panahan memang bukan hal baru untuk Dinda. Dia memang terlahir di tengah keluarga pemanah. Ibunya, Lilies Handayani, adalah atlet panahan peraih medali perak dalam Olimpiade Seoul 1988 lalu. Begitupun dengan sang ayah, Denny Trisyanto, yang juga berkecimpung di dunia memanah.
Setelah resmi menjadi atlet panahan nasional, Dinda mengikuti banyak kejuaraan dan meraih banyak medali. Salah satunya medali perunggu di nomor beregu yang ia dapatkan di ajang Archery World Cup 2016 di Ankara, Turki, bulan lalu. Kegigihannya bahkan telah mengantarkan ia ke posisi 54 atlet panahan dunia di usianya yang cukup muda.
Meskipun banyak menorehkan prestasi dalam kejuaraan panahan, ia mengaku keinginan utamanya adalah bisa membawa pulang medali emas dari ajang internasional. Menurut ia, medali emas bukan hal yang mustahil ia dapatkan selama masih memiliki tekad untuk berlatih dan bertanding.
"Impian yang belum terwujud bisa membawa emas dari kejuaraan dunia. Perak dan perunggu sudah dari 2007, sekarang ingin emas untuk Indonesia. Kalau mau mencapai sesuatu tidak boleh berhenti, harus terus sampai tercapai," kata gadis kelahiran 12 Mei 1990 ini.
Tidak hanya emas, Dinda juga bertekad kuat untuk memperkenalkan panahan lebih luas kepada masyarakat. Untuk mewujudkan impiannya itu, ia turut berkecimpung membesarkan sekolah panahan yang didirikan keluarganya di Surabaya bernama Srikandi Archery School. Sekolah panahan ini selalu memfasilitasi pertandingan antarklub memanah.
Meski demikian, ia mengaku belum terjun sebagai pelatih karena masih berstatus sebagai atlet. Ia lebih sering berlatih bersama para siswa panahan dan mengadakan sesi berbagi cerita serta pengalaman.
Dalam memperkenalkan olahraga panahan, Dinda banyak memiliki program khusus. Salah satunya adalah program memanah bagi anak-anak yatim piatu.
"Banyak anak kecil tertarik panahan, aku ingin mengajak anak-anak yatim piatu. Itu cita-cita yang belum tercapai. Mereka susah mendapatkan akses memanah, jadi ingin mengundang mereka panahan. Mungkin ada yang bagus, bisa lanjut," kata Dinda.
Kepada anak-anak tersebut, Dinda sangat ingin berbagi asyiknya terjun di olahraga panahan. Menurut dia, bertanding panahan bukan untuk melawan orang lain melainkan untuk menaklukkan diri sendiri.
Seorang atlet panahan, kata dia, harus bisa menguasai dan mempercayai kemampuan diri sendiri. Untuk bisa meraih hal itu, seorang atlet harus terus berlatih. Bukan hanya berlatih teknik, tetapi juga fisik, sebab busur panah yang digunakan memiliki bobot yang tidak ringan.
"Waktu masih bertanding, kita melawan orang lain, tapi kita tidak bersentuhan. Di saat kita menang, berarti kita menang atas diri sendiri. Itu kepuasan yang didapat," ujarnya.
Ia menambahkan, selain berlatih keras, atlet panahan juga perlu mengikuti pertandingan. Dalam latihan, seorang atlet mungkin bisa menguasai latihan teknik, fisik, hingga kedisiplinan. Namun, hanya dalam pertandingan, mental seorang atlet bisa benar-benar diasah.
"Atlet panahan harus fokus dan bisa mengendalikan diri, oleh karena itu harus melakukan pertandingan. Di situ kita dilatih fisik dan mental, kita harus punya semangat juang," ujar dia.
Dengan segala tekanan yang ada, panahan tetap membuat Dinda jatuh hati. Menurut dia, semua orang bisa menyenangi olahraga panahan karena akan timbul rasa penasaran dalam membidik sasaran.
Ada perasaan yang sulit diungkapkan ketika anak panah yang dilepaskan dari busur bisa tepat mengenai sasaran. Beberapa orang yang ia kenal mengaku selalu ingin memanah setelah satu kali mencoba panahan. "Penasaran sampai akhirnya mendalami, rasanya pasti susah mau meninggalkan panahan," ungkap Dinda.
rep: Fira Nursya’bani, ed: Endah Hapsari
***
Bersaing dengan Ibu Sendiri
Meraih emas di ajang internasional masih menjadi obsesi tersendiri bagi Dellie Threesyadinda. Uniknya, medali emas pernah hampir ia dapatkan di ajang Asian Grand Prix 2007 Iran. Kejuaraan tersebut menjadi salah satu kejuaraan yang paling mengesankan, karena ia harus bersaing dengan ibunya sendiri di babak final.
Saat itu, pasangan ibu dan anak tersebut terpaksa harus memperebutkan medali emas karena atlet dari negara lain sudah terlebih dahulu gugur. Namun, perempuan yang biasa disapa Dinda ini harus mengakui keunggulan sang ibu dan mengalah dengan membawa pulang medali perak.
"Waktu itu Mama masih jadi atlet. Meski lawan Mama sendiri, tapi tidak ada perasaan takut atau mau mengalah. Di arena pertandingan, Mama tetap jadi lawan," katanya.
Namun, tak hanya sebagai pelatih sekaligus lawan, bagi Dinda, ibunya adalah sosok yang sangat memberikan inspirasi. Sebagai orang pertama yang memperkenalkan Dinda dengan olahraga panahan, sang ibu diakuinya selalu memberikan semangat kepadanya untuk bisa menggali potensi dan memberikan yang terbaik, yang bisa ia lakukan.
Ibunya jugalah yang mendorong Dinda untuk memperkenalkan olahraga panahan kepada generasi muda, khususnya para perempuan. Menurut dia, perempuan harus bisa keluar dari zona nyaman dengan berani mencoba hal baru.
"Ingin mengenalkan olahraga panahan ke perempuan Indonesia dengan cara berbeda, yaitu dengan berbagi. Semua jadi tahu, perempuan Indonesia tahu kalau ada olahraga panahan yang bisa digeluti," katanya.