Oleh: Umar Juoro -- Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2014 menurun pada tingkatan 5,12 persen. Pada 2014, diperkirakan hanya sekitar 5,2 persen lebih rendah daripada yang ditargetkan pemerintah. Seluruh komponen pertumbuhan mengalami penurunan, konsumsi, pengeluaran pemerintah ekspor, dan investasi dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu. Pelemahan ekonomi ini terjadi seiring dengan tingginya defisit transaksi berjalan, sekitar tiga persen PDB, dan besarnya pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM, ditambah lagi dengan penurunan penerimaan pajak.
Prospek ekonomi belum dapat dikatakan baik. Pertumbuhan ekonomi dunia masih lemah. Ekonomi Cina masih tumbuh 7,5 persen, namun impor komoditasnya menurun. Sekalipun ekonomi AS membaik, perbaikan ekonomi AS ini akan mempercepat peningkatan suku bunga oleh bank sentral AS, kemungkinan awal 2015. Pengaruhnya pada Indonesia adalah BI juga harus menaikkan suku bunga lagi. Jika ini terjadi, modal keluar akan meningkat dan likuiditas perbankan akan semakin ketat.
Pelemahan ekonomi ini sebagai konsekuensi logis dari tingginya suku bunga yang menurunkan pertumbuhan kredit. Sekalipun konsumsi tidak menurun secara berarti, impor minyak bahkan terus meningkat yang memberikan sumbangan besar pada defisit transaksi berjalan. Dengan tingginya defisit transaksi berjalan, BI tidak dapat menurunkan suku bunga untuk menstimulasi ekonomi karena akan memperbesar defisit dan melemahkan nilai rupiah.
Kemampuan pemerintah untuk menstimulasi ekonomi juga minim karena besarnya anggaran rutin dan subsidi BBM. Menurunnya penerimaan pajak juga membuat pemerintah kesulitan untuk mendapatkan sumber penerimaan lainnya.
Pemerintahan baru akan menghadapi kondisi ekonomi yang cukup berat. Pertumbuhan menurun, suku bunga tidak dapat diturunkan, bahkan kemungkinan akan naik lagi, defisit transaksi berjalan yang besar, subsidi BBM yang besar, dan penerimaan pajak yang cenderung menurun.
Kebijakan yang harus ditempuh pada umumnya harus melalui penurunan ekonomi lebih lanjut sebelum mengalami perbaikan. Mengurangi subsidi BBM akan meningkatkan inflasi dan juga biaya produksi yang semakin melemahkan ekonomi. Namun, langkah ini harus ditempuh untuk membuat alokasi anggaran pemerintah lebih rasional sehingga terbuka ruang untuk stimulasi ekonomi.
Jika bank sentral AS menaikkan suku bunga, BI juga harus menaikkan suku bunga untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dan mencegah aliran modal keluar yang besar. Ini berarti likuiditas perbankan akan semakin ketat yang membuat pertumbuhan kredit menurun. Namun, setelah itu, harapannya ekonomi dunia akan membaik dan memberikan peluang bagi ekspor dan investasi Indonesia.
Masa transisi ini sulit, tetapi harus dilalui. Selanjutnya, perubahan bersifat struktural harus dilakukan yang membuat ekonomi dapat tumbuh dengan lebih berkesinambungan. Sektor manufaktur harus ditransformasi menjadi lebih kompetitif dan memberikan sumbangan lebih besar pada ekspor. Sektor energi harus ditransformasi untuk dapat menghasilkan produksi yang lebih tinggi untuk menopang perkembangan ekonomi. Sektor pangan harus ditransformasi untuk dapat meningkatkan produksi dan ketahanan pangan nasional.
Transformasi tersebut tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa, tetapi membutuhkan penahapan dan pelaksanaan yang jelas. Tanpa transformasi tersebut, ekonomi Indonesia menjadi semakin tidak seimbang antara ekspor dan impor, antara kegiatan produktif dan konsumtif, dan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang akan semakin melemahkan ekonomi. Transformasi ekonomi sekalipun berat untuk dilalui, akan membuat ekonomi Indonesia lebih seimbang dan dapat berkembang secara berkesinambungan.