JAKARTA -- Pengujian halal suatu produk tak lagi melalui Badan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang akan disahkan Kamis besok, proses pemeriksaan akan dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Halal (LPH). Lembaga tersebut bisa dibentuk dari pihak pemerintah maupun swasta.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amalia mengatakan, semua pihak boleh mendaftar sebagai LPH dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Di antaranya, LPH harus mendapat akreditasi oleh MUI. "Jadi, memang (LPH) bisa dari swasta atau pemerintah," katanya kepada Republika, Selasa (23/9).
Selain memperoleh akreditasi MUI, LPH juga harus memiliki alat yang memenuhi standar audit untuk uji produk halal. LPH, kata dia, juga wajib didirikan oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam yang telah berbadan hukum. Sehingga, tidak bisa sembarang ormas.
Dalam RUU JPH yang diperoleh Republika juga disebutkan, LPH harus mempunyai minimal tiga auditor halal, kantor, serta laboratorium. Kalaupun tak memiliki laboratorium maka bisa bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki fasilitas itu.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, adanya LPH tidak mengurangi wewenang MUI. Bahkan, wewenang MUI menjadi bertambah. Sebab, siapa pun LPH-nya, pihak yang berhak untuk mengeluarkan produk halal tetap berada di tangan MUI.
MUI punya otoritas penuh terkait fatwa halal. "Jadi, meski banyak LPH, MUI tetap yang menentukan kehalalan suatu produk," ujar Ledia.
RUU menjelaskan, LPH harus menyerahkan hasil uji produk halal mereka ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) selalu penerbit sertifikat. Namun, sertifikat baru bisa keluar jika sudah mendapat fatwa halal dari MUI.
RUU tak menjelaskan mengenai keberadaan LPPOM MUI ke depan. Tapi, menurut Ledia, LPPOM tak harus bubar. LPPOM dapat berperan sebagai LPH setelah UU ini diketuk. Terlebih lembaga ini telah berpengalaman mengurusi sertifikasi halal.
RUU JPH rencananya akan disahkan di DPR pada Kamis (25/9). Peraturan perundangan ini telah melewati pembahasan alot sejak 2004. Salah satu perdebatan yang tak kunjung selesai yakni mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam proses sertifikasi itu.
Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) menginginkan agar lembaga penerbit sertifikasi tak hanya MUI. Karena, NU juga memiliki badan yang menguji sertifikasi halal itu. Sebaliknya MUI menginginkan agar penerbitan produk halal hanya satu pintu.
Sekjen Kementerian Agama (Kemenag) Nur Syam mengatakan, pemerintah sudah seharusnya memberi kesempatan yang sama terhadap seluruh ormas untuk bisa membuat LPH. Tetapi, tentu harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Di antaranya, punya alat yang memenuhi standar audit untuk produk halal. Selain itu, LPH juga harus didirikan oleh ormas Islam berbadan hukum.
Nur Syam mengatakan, proses pembahasan terkait RUU JPH sudah final. Badan halal yang akan mengeluarkan sertifikat halal juga sudah disepakati antara pemerintah dan DPR. Badan halal dalam hal ini BPJPH nantinya akan berfungsi secara administratif, pengawasan, dan juga sosialisasi.
Namun, NU tetap tak setuju dengan aturan itu. Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Adnan Anwar menyayangkan kesepakatan pemerintah dan DPR yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Dia menganggap pengeluaran fatwa halal yang masih diberikan sepenuhnya kepada MUI adalah bentuk monopoli. "Kalau seperti itu berarti secara de facto sertifikasi halal masih di tangan MUI," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (23/9).
Dalam RUU JPH, pengeluaran sertifikat memang berada di tangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Tetapi, kata dia, BPJPH harus mendapat rekomendasi atau fatwa halal yang dikeluarkan MUI. Untuk itu, lanjutnya, PBNU akan tetap mengeluarkan sertifikat halal seperti yang dilakukan saat ini.
Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya persoalan RUU JPH kepada MUI. Perwakilan Muhammadiyah di tubuh MUI dinilai telah mewakili aspirasi secara kelembagaan. "Kami menyerahkan saja kepentingan kepada MUI," ujar Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, kepada Republika, Selasa (23/9). Menurutnya, peran MUI harus tetap dipertahankan.
***
Badan Terkait Sertifikasi Halal
Dalam RUU Jaminan Produk Halal (JPH) ada tiga badan penting yang terkait penerbitan sertifikasi halal. Ketiganya yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berikut sejumlah kewenangan dalam masing-masing badan itu.
BPJPH
1. Menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada produk.
2. Melakukan registrasi sertifikasi halal dan produk luar negeri.
3. Melakukan sosialisasi edukasi dan publikasi produk halal.
4. Melakukan akreditasi terhadap LPH.
5. Melakukan sertifikasi auditor halal.
6. Melakukan pengawasan terhadap JPH.
7. Melakukan pembinaan auditor halal.
8. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
LPH
1. Memiliki kesempatan sama dalam membantu BPJPH memeriksa atau menguji kehalalan produk. Hasil pemeriksaan LPH akan disampaikan ke BPJPH sebelum disetujui MUI.
2. Dalam pelaksanaannya LPH harus memiliki minimal tiga auditor tesertifikasi untuk memeriksa kehalalan suatu produk. Auditor halal bertanggung jawab memeriksa bahan, proses, peralatan sampai distribusi produk.
MUI
1. Menetapkan kehalalan produk hasil pemeriksaan pengujian LPH yang telah diserahkan ke BPJPH.
2. Bersama BPJPH menyertifikasi auditor halal dan memberikan akreditasi kepada LPH.
Sumber : RUU JPH
Pengolah: Teguh Firmansyah n c60 rep: mas alamil huda ed: teguh firmansyah