REPUBLIKA.CO.ID,Pemerintah Modifikasi Waktu dan Ibadah Jamaah Risti
JAKARTA - Pemerintah akan menerapkan mekanisme tertentu untuk jamaah haji berisiko tinggi (risti). Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan, Fidiansjah, menyatakan, mekanisme ini berupa modifikasi waktu dan ibadah haji bagi mereka yang risti.
Bagi jamaah risti yang tidak memungkinkan menjalankan ibadah yang tidak wajib, seperti Arbain, kata Fidiansjah, mereka tak perlu dipaksakan untuk menunaikannya. "Jadi, waktunya pendek dan singkat," ujarnya kepada Republika, Rabu (4/11).
Nantinya, Kemenkes memasukkan jamaah risti ke dalam kategori atau kelompok jamaah yang dikurangi waktu ibadahnya. Sejak masih di Tanah Air, jamaah risti akan mendapat penjelasan bahwa pelaksanaan ibadah hajinya telah mabrur dan sah, semua kewajibannya pun sudah terpenuhi.
Namun, ibadah yang bukan wajib tidak perlu mereka lakukan dengan pertimbangan kondisi ristinya itu. Ia melanjutkan, selain modifikasi waktu, Kemenkes juga akan melakukan modifikasi ibadah. Jamaah risti akan masuk dalam kelompok safari wukuf.
Artinya, jamaah itu ditetapkan sebagai jamaah yang tak mungkin menjalankan wukuf di Arafah dan mabit atau bermalam di Muzdalifah. Ia menuturkan, pembimbing ibadah dan keluarga jamaah sudah diberitahu hal ini sejak jamaah berangkat ke Tanah Suci.
Dengan begitu, akan langsung diketahui ada berapa jumlah jamaah yang dibadalkan atau diwakilkan melempar jumrahnya. Hal terakhir yang akan dilakukan yaitu penguatan persyaratan pendamping bagi calhaj risti.
Pendamping seharusnya bukan hanya formalitas saja. Mereka tetap harus bertanggung jawab terhadap jamaah saat berada di Arab Saudi. "Jadi, kehadiran pendamping betul-betul dirasakan oleh jamaah risti ini," kata Fidiansjah.
Ia menambahkan, keseluruhan hal tersebut akan dijadikan satu kebijakan sehingga dapat diterapkan pada musim haji tahun depan. Kebijakan ini melibatkan semua kemitraan terkait, baik kelompok pembimbing ibadah, keluarga jamaah, pemerintah, dan alim ulama.
Berdasarkan data Kemenkes, jumlah jamaah risti pada musim haji 2015 sebanyak 95.210 orang. Jamaah risti yang di atas 60 tahun sebanyak 10.221 orang, di atas 60 tahun dengan penyakit 32.839 orang, dan risti berumur 60 tahun atau kurang dengan penyakit 40.670 jamaah.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, ada hal yang harus ditingkatkan dalam penyelenggaraan haji tahun depan. Di dalamnya termasuk penanganan jamaah risti. Jamaah risti memiliki perbandingan 1:4 dengan jamaah nonristi.
"Belum lagi, beban medis jamaah yang risti semakin besar," ujarnya seusai membuka sebuah semiloka tentang haji di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (3/11) malam. Sebelumnya, ia menyatakan, pemerintah menunda keberangkatan jamaah risti.
Pertimbangan ini untuk mengurangi angka kematian jamaah di Tanah Suci. Sebab, pada musim haji 2015, jumlah jamaah meninggal mencapai 605 orang atau melonjak lebih dari 100 persen dibanding jumlah kematian tahun sebelumnya. Mayoritas jamaah meninggal tergolong jamaah risti.
Untuk musim haji 2016, Menag berencana memasang cip di tanda pengenal jamaah. "Hal ini untuk memudahkan kontrol dan pengawasan keberadaan para jamaah selama di Tanah Suci." Ia menyatakan, hanya teknologi ini yang bisa digunakan.
Melanggar hak
Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Kurdi Mustofa mengatakan, kalau seseorang baru dilarang berangkat haji karena risti padahal sudah gilirannya untuk berangkat, itu merupakan pelanggaran hak. Seharusnya, pelarangan dilakukan sejak awal pendaftaran.
Misalnya, seorang calhaj berumur 50 tahun mengapa masih diperbolehkan mendaftar haji? Padahal, waktu keberangkatan untuk berhaji baru berlangsung saat umurnya mungkin sudah 75 tahun karena antrean yang panjang.
Di sisi lain, semakin tua seseorang, semakin tinggi tingkat risikonya saat berhaji. "Bisa saja waktu mendaftar dia masih sehat tetapi saat menunggu berangkat ia menjadi risti," kata Kurdi. Karena itu, jika sudah mendaftar kemudian dilarang berangkat, itu tentu membuat kecewa calhaj.
Kurdi pun tak sependapat dengan argumen pembatasan risti yang bisa menekan angka kematian jamaah. Menurut dia, urusan meninggal atau tidak di Tanah Suci merupakan urusan setiap jamaah. Bahkan, sesuai keyakinan Muslim, banyak yang justru senang bisa meninggal di Tanah Suci.
Selain itu, dia melihat banyak fakta bahwa yang meninggal di Tanah Suci tidak hanya jamaah risti, yang sehat pun juga berpotensi meninggal di sana. Hal itu karena berkaitan pula dengan takdir masing-masing individu yang sudah digariskan-Nya.
Kurdi mengusulkan, sebaiknya orang yang mendaftarkan haji harus dicek terlebih dahulu kondisi kesehatannya. "Kalau memang punya potensi untuk risti, ya jangan diterima. Itu boleh dan lebih adil," katanya menegaskan.
Jadi, saat mendaftar, calhaj mesti menyertakan general check up yang menunjukkan kondisi jantung dan paru-parunya atau tes kesehatan dilakukan saat calhaj mendaftarkan diri. Keputusan diterima atau tidak merujuk pada tes kesehatan itu. n c35 ed: ferry kisihandi