Sebuah foto memilukan beredar di jejaring sosial, Rabu (4/1) WIB. Foto tersebut menampilkan sesosok bayi terperosok menghadap lumpur.
Posisinya tengah bersujud. Menurut laman berita New Age Bangladesh, foto tersebut menunjukkan sang bayi telah meninggal dunia. Umurnya diperkirakan sekitar 10 bulan. Sementara, lokasi foto di tepi Sungai Naf, perbatasan Bangladesh-Myanmar.
"Gambar itu pertama kali diunggah oleh sebuah portal yang dijalankan masyarakat Rohingya, yaitu Rohingya Vision. Anak itu tenggelam di Sungai Naf, di wilayah Myanmar. Kapal yang membawa keluarganya beserta 35 orang penumpang tenggelam. Mereka berupaya melarikan diri dari Myanmar untuk menghindari kekejaman pasukan militer Myanmar, 4 Desember lalu," tulis laman al-Arabiya seperti dikutip, Rabu (4/1).
Gambar yang beredar itu sontak memancing ingatan masyarakat dunia terhadap seorang bocah. Aylan Kurdi namanya.
Foto Aylan, bocah pengungsi perang Suriah berusia tiga tahun, tertelungkup di atas pasir di tepi Laut Mediterania, 2015 lalu. Kini memori Aylan kembali mengapung seiring foto yang dirilis Rohingya Vision dan telah dikutip berbagai media dunia.
Tatkala laman al-Arabiya menurunkan tulisan tersebut, belum diketahui nama lengkap sang bayi. Namun, setelah jurnalis CNN Rebecca Wright mengadakan peliputan, baru diketahui detail informasi terkait bayi tersebut.
Namanya Mohammed Shohayet. Usianya 16 bulan. Shohayet merupakan satu dari ribuan atau bahkan puluhan ribu masyarakat Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh. Bersama dengan ibu, paman, dan adik laki-lakinya, mereka tenggelam di Sungai Naf saat mencoba melarikan diri dari rumah mereka di Rakhine setelah kekerasan dengan pasukan militer terjadi di wilayah negara bagian Myanmar itu.
Ayah dari Shohayet, Zafor Alam, tampak sangat sedih ketika melihat gambar anggota keluarganya yang tewas. Ia merasa tidak ada lagi gunanya meneruskan kehidupan tanpa orang-orang tercinta di dekatnya.
"Saya merasa lebih baik mati meninggalkan dunia ini," ujar Alam kepada CNN. Ia kemudian menceritakan latar belakang pelarian mereka dari Myanmar. Menurut Alam, pada suatu ketika, tiba-tiba helikopter milik militer Myanmar datang ke desanya.
Tidak sekadar datang, helikopter itu kemudian menembak secara membabi buta. Kedatangan helikopter juga disertai pasukan militer pemerintah. "Jadi kami harus melarikan diri dan bersembunyi di hutan," kata Alam.
Tak tahan dengan kekerasan, satu per satu warga pun meninggalkan tempat mereka tinggal. Banyak di antara mereka yang kelelahan dan tidak memiliki persediaan makanan dalam bentuk apa pun.
"Kami berjalan selama enam hari. Kami tidak bisa makan nasi selama empat hari. Kami tidak bisa tidur dan terus-menerus berganti lokasi supaya tidak ketahuan tentara," ujar Alam.
Dalam pelarian tersebut, dia mengaku terpisah dengan anggota keluarganya. Hingga kemudian tiba di Sungai Naf, yang membentang membatasi Myanmar dan Bangladesh.
"Saya meminta nelayan Bangladesh membantu keluarga saya melarikan diri dan menelepon istri untuk bersiap," ujar Alam.
Namun, saat keluarga Alam mencoba mencapai sungai, pasukan militer Myanmar menahan mereka dengan deru tembakan. Semua orang yang sudah bersiap di atas perahu ketakutan dan dengan cepat kendaraan digerakkan di atas air.
Malangnya, kapal tersebut kelebihan beban sampai akhirnya tenggelam. Alam pun mendapati berita anak dan istrinya menjadi korban tewas dalam kejadian itu.
Cerita Alam menjadi satu dari sekian banyaknya keluarga Rohingya yang menderita akibat kekerasan di Rakhine. Menjadi ironis tatkala warga Rohingya disebut sebagai salah satu masyarakat minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Pemerintah Myanmar memandang mereka sebagai imigran dari Bengali, bukan warga Myanmar. Padahal, fakta sejarah menunjukkan mereka adalah penduduk sah yang sudah turun temurun menetap di Rakhine.
Setelah pasukan Myanmar melakukan aksi sebagai tindakan balasan atas kekerasan yang dilakukan Rohingya Solidarity Organization (RSO), Oktober 2016, kekerasan terus meningkat. Sejalan dengan itu, International Organization of Migration (IOM) mencatat 34 ribu orang telah menyeberangi perbatasan Myanmar-Bangladesh beberapa bulan terakhir.
Selama itu pula banyak yang menjadi korban akibat kapal pengangkut tenggelam di sungai, termasuk Sungai Naf. "Hanya sungai yang tahu berapa banyak jenazah dari warga Rohingya yang mengambang di sana," kata Alam menambahkan.
Tidak ada genosida
Sebuah komisi yang dibentuk Pemerintah Myanmar memastikan, sejauh ini tidak ditemukan bukti yang menunjukkan telah terjadi genosida terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya. Dalam laporan internal komisi juga disebutkan tidak ada cukup bukti bahwa telah terjadi perkosaan secara luas di sejumlah wilayah di Rakhine.
Pun pembakaran maupun penangkapan sewenang-wenang yang dituduhkan masyarakat dunia maupun beberapa LSM. Seperti dilansir BBC, komisi yang dibentuk Pemerintah Myanmar dan dipimpin oleh seorang mantan jenderal, Myint Swe, akan menyampaikan kesimpulan akhir terkait temuannya pada akhir Januari nanti.
Anehnya, menurut BBC, komisi tidak menyampaikan klaim paling serius bahwa pasukan militer Myanmar telah membunuh warga sipil sebagai hukuman kolektif atas serangan militan Rohingya, Oktober, lalu.
Awal pekan ini, beberapa polisi ditahan setelah sebuah video beredar. Di video tersebut, terlihat para petugas menendang-nendang Muslim Rohingya tanpa ragu. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada November 2016 seiring dengan operasi keamanan di Rakhine. Oleh Puti Almas, Dyah Ratna Meta Novia ed: Muhammad Iqbal