REPUBLIKA.CO.ID, Yang baik harus dipertahankan, yang belum bagus selayaknya diperbaiki agar semakin sempurna. Berikut pesan untuk menyikapi kabar akan dihapuskannya program beras untuk warga miskin (raskin).
Tak ingin program ini dihapus, sejumlah akademisi angkat bicara. Pakar pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, berharap program beras untuk rakyat miskin (Raskin) tetap dipertahankan, lantaran banyaknya manfaat bagi masyarakat miskin. Namun, perlu pembenahan agar raskin kian memberi nilai tambah dan tepat sasaran. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas dan kadar gizi beras raskin.
Wakil Rektor IPB Bogor, Prof Hermanto Siregar, menegaskan program Raskin harus kembali masuk dalam program pemerintahan mendatang. "Pemerintah harus sediakan fasilitas seperti itu, seperti sekolah gratis, kesehatan gratis, beras disubsidi," katanya di Jakarta, Senin (2/6).
Namun, menurut Hermanto, kualitas Raskin harus ditingkatkan untuk memberi nilai gizi bagi rakyat miskin. Rakyat miskin itu karena kemiskinannya sehingga gizinya tidak bagus, misalnya kekurangan zat besi, yodium, vitamin A. "Karena itu, kualitas Raskin perlu ditingkatkan, misalnya dengan fortifikasi untuk mengatasi zat-zat gizi yang kurang itu," tuturnya.
Penambahan kadar gizi dan vitamin dalam raskin sangat positif, karena rakyat miskin tidak bisa memenuhi kebutuhannya itu, sehingga kerap terserang penyakit akibat kekurangan zat itu.
Kalau disuruh beli beras yang harganya mahal, mereka tidak mampu. Sehingga Raskin ini disubsidi untuk membantu rakyat miskin, dan kualitas beras dapat ditingkatkan dengan fortifikasi. "Jadi saya kira ini suatu yang bagus dan perlu dikembangkan," ujarnya.
IPB, kata dia, juga mempunyai terobosan tersendiri untuk membantu pemerintah guna mengatasi kelangkaan beras di negeri ini, yakni pembuatan beras analog yakni beras yang dihasilkan dari berbagai umbi-umbian yang ada di seluruh penjuru Indonesia.
"Produksi padi semakin turun, maka perlu dikembangkan beras analog dari umbi-umbuan yang diolah, kemudian bentuk dan rasanya dibuat seperti beras. Saat diolah, di situ fortifikasi dilakukan," ujarnya.
Diversifikasi pangan merupakan upaya mengembalikan makanan pokok rakyat Indonesia ke makanan pokok sebelumnya. Seperti warga Papua yang makanan pokoknya umbi-umbian dan warga Madura yang mensubtitusi makanannya dengan jagung, demi mengurangi ketergantungan terhadap beras.
Konsumsi beras per kapita Indonesia masih sangat tinggi, kira-kira 130 kilogram (kg) per kapita per tahun. "Itu harus bisa kita potong, paling tidak bisa 80 kg per kapita per tahun," ujarnya.
Caranya, tambah Hermanto, bisa secara bertahap, yakni melalui diversifikasi pangan. Misalnya terlebih dulu membuat produk-produk yang mirip beras dari bahan baku yang banyak di Indonesia, sehingga ke depan nama programnya tidak hanya raskin, tapi pangan untuk orang (pangkin).
Nantinya, perlu dikembangkan bahan pokok masing-masing daerah. Dalam UU Pangan ada satu pasal untuk mengembangkan otoritas pangan bagi pusat maupun daerah. Di daerah perlu dikembalikan pada pangan pokok yang ada di sana. Misalnya jagung, pisang, ubi. "Itu yang harus digalakan lagi, sehingga kita tidak tergantung lagi dengan beras," tandasnya.
Ahli Teknologi Pangan, Prof Dr Wisnu Cahyadi mengatakan, pihaknya telah melakukan penelitian fortifikasi Raskin untuk meningkatkan kualitas dan kandungan gizi serta zat lain dalam Raskin.
"Fortifikasi itu penambahan kimia lain yang diizinkan, atau penambahan zat gizi mikro, kaya iodine (yodium), vitamin A, zat besi ke dalam bahan pangan di antaranya raskin," kata Wisnu.
Bahan-bahan tersebut disemprotkan ke dalam beras sesuai formula yang telah ditentukan dan telah mempunyai hak paten. Unsur-unsur zat yang disemprotkan itu, antara lain
Fe (ferrum) atau zat besi, vitamin A, yodium, sehingga menambah kadar gizi dan protein dalam beras raskin.
Menurutnya, hasil penelitian yang sudah memasuki tahun ketiga ini, sudah diuji cobakan dalam beras raskin di wilayah Jawa Barat. Wisnu berharap tahun ini bisa diimplementasikan di industri beras nasional.
Wisnu menuturkan, penelitiannya terdorong karena banyaknya warga miskin yang kekurangan tiga zat yang disebut di atas, sehingga berdasarkan penelitian, mayoritas masyarakat miskin mengalami penyakit akibat kekurangan zat itu, seperti gondok.
Setelah beras diolah dengan sentuhan fortifikasi, kata Wisnu yang menjabat selaku Asisten Direktur II Fakultas Pascasarjana Unpas (Bandung), beras Raskin hasilnya sangat bagus dan tidak merubah tampilan dan rasa beras, namun mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi.
Tidak ada efek samping bagi tubuh, tapi justru semua bahan-bahannya bermanfaat. "Ini kan ada bahan konsentrat proteinnya, karbohidrat, gizinya, yodium, kan dibutuhkan untuk mencegah gondok vitamin A untuk mata, vitamin E untuk darah (anemia). Nah ini semua menggunakan bahan-bahan yang berguna bagi kesehatan," tandasnya.
Sebelumnya, warga Pedukuhan Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo (DIY), menolak pembagian Raskin karena akan dicoret dari data keluarga miskin. Fasilitas dan berbagai bantuan pemerintah lainnya yang diberikan kepada warga miskin, seperti jaminan kesehatan, beasiswa miskin dan sebagainya juga akan dihapuskan. n ed: zaky al hamzah