Jumat 22 Aug 2014 15:00 WIB

Kepemilikan Lahan Petani Sangat Rendah

Red:

PADANG — Daya saing sejumlah sektor di Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang berlaku akhir 2015 masih rendah. Menurut Menteri Pertanian (Mentan) Suswono, daya saing sejumlah sektor di Indonesia baru menempati urutan keenam di antara negara-negara lain di kawasan ASEAN.

"Salah satu masalahnya, yaknu sektor pertanian Indonesia yang menyangkut kepemilikan lahan petani," kata Suswono dalam talk show bertajuk "Peran Mahasiswa dalam Percepatan Alih Teknologi untuk Petani Kecil" di Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatra Barat (Sumbar), Kamis (21/8).

Menurutnya, kepemilikan lahan di Indonesia hanya  560 meter persegi (m2) per kapita. Luasan ini setara 0,3 hektare (ha) per kepala keluarga (KK). Di Thailand, kepemilikan lahan mencapai 5,6 ha per kapita atau 30 ha per KK.

Parahnya lagi, defisit lahan pertanian Indonesia sebesar 60 ribu ha per tahun. Jika tak ada kebijakan reforma agraria, petani Indonesia akan tak akan pernah sejahtera karena kepemilikan lahan yang kecil.

"Tantangan besar kita, yaitu meningkatkan produktivitas di lahan yang makin terbatas," ujar Suswono. Namun yang membanggakan, ia mengungkapkan, produktivitas padi di Indonesia merupakan produksi tertinggi di ASEAN, yakni sebesar 5,2 ton per ha.

Sebagai solusinya, ia menekankan pentingnya pemanfaatan lahan tidur untuk menambah suplai produk pertanian. Hingga saat ini, terdapat 7,2 juta ha terindikasi lahan telantar. Terdapat 4,8 juta ha lahan berpotensi telantar.

Ironisnya, yang diberikan izin untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian hanya 13 ribu ha. "Dari jumlah itu yang cocok untuk lahan pertanian hanya 600 ha," katanya.

Suswono optimistis Indonesia akan dapat meningkatkan daya saing sektor pertanian menghadapi MEA 2015. Pihaknya akan mengoptimalkan sisa 1,5 tahun sebelum MEA diberlakukan per akhir 2015.

Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumbar Edi Mawardi mengaku prihatin akan sempitnya kepemilikan lahan oleh petani kecil.

Menurutnya, sebanyak 80 persen petani Indonesia termasuk petani pangan. Ironisnya, 50 persen di antaranya merupakan petani penggarap yang tidak mempunyai lahan. "Penghasilan petani juga tidak sampai Rp 2 juta per bulan," ujar Edi yang juga menjadi pengurus Persatuan Petani Nelayan Sejahtera.

Berdasarkan data BPTP Sumbar, petani di Solok didominasi oleh wanita. "Kepala keluarganya memilih bekerja di luar sektor pertanian untuk mencari tambahan pendapatan," kata Edi.

Ia mendukung adanya percepatan alih teknologi dari peneliti ke petani. Syaratnya ada dua. Pertama, teknologi tersebut harus kompatibel dengan petani. Kedua, menjamin efektivitas dalam proses pertanian.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengungkapkan, pada 2014 alokasi APBD Sumbar untuk sektor pertanian mencapai tujuh persen.

Irwan mengklaim pengalokasian ini merupakan yang tertinggi se-Indonesia. "Ini menggambarkan keseriusan pemerintah Sumbar dalam mengembangkan sektor pertanian," ujar Irwan.

Enam puluh persen penduduk Sumbar bekerja di sektor pertanian. Artinya, ia menambahkan, pertanian merupakan sektor penting yang menggerakkan perekonomian di Sumbar. Dengan SDA dan manusia yang melimpah, saat ini Sumbar mampu menyuplai produk-produk pertanian bagi provinsi lain di sekitarnya.

rep:c88 ed: zaky al hamzah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement