BAGHDAD — Pemimpin tertinggi Iran menolak kehadiran Amerika Serikat (AS) di Irak. Menurut Ayatullah Ali Khamenei, AS ingin mengambil alih Irak dengan memanfaatkan pertikaian sektarian. Pernyataan Khamenei tersebut diungkapkan, Ahad (22/6), atau tiga hari sejak Presiden AS Barack Obama menawarkan 300 penasihat militer.
Obama menawarkan penasihat militer untuk mengatasi pemberontak radikal Suni, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang bergerak maju ke Ibu Kota Baghdad. Pemberontak telah berhasil merebut perbatasan di sebelah barat. "Kami sangat menentang AS dan segala intervensi di Irak," ujarnya, seperti dikutip IRNA. "Kami yakin, pemerintah, bangsa, otoritas keagamaan Irak dapat mengakhiri segala hasutan ini."
Irak merupakan negara tetangga yang juga sekaligus sekutu Iran. Mayoritas penduduk di kedua negara tersebut berpaham Syiah. Irak mengakui sangat kerepotan untuk menghadapi ISIS. Mereka pun terpaksa meminta bantuan ke Paman Sam.
Namun, sejumlah analis Irak mengaitkan pernyataan Khamenei tersebut dengan keinginan para petinggi di AS yang hendak menyingkirkan Maliki. Khamenei sepertinya hendak memperingatkan AS tidak melangkah lebih jauh dengan mendesak Maliki mundur.
Sehari setelah pernyataan Khamenei tersebut, Menteri Luar Negeri AS John Kerry tiba di Baghdad, Senin (23/6). Kerry sepertinya akan menekan Perdana Menteri Maliki agar membentuk pemerintahan lebih terbuka.
Ketika berada di Kairo, Mesir, Ahad (22/6)), Kerry mengatakan, AS tidak akan menentukan siapa yang berhak memimpin Irak. Namun, ia menilai AS kecewa dengan kepemimpinan Maliki dan pihak-pihak lain, seperti Kurdi dan Suni. Ia berharap rakyat Irak dapat memilih pemimpin yang lebih terbuka dan mau berbagi kekuasaan.
Sebelumnya, Paman Sam siap berbicara dengan Iran untuk mengatasi krisis Irak. Meskipun, menampik kemungkinan kerja sama langsung untuk melawan ISIS. Iran dan AS memiliki sejarah panjang menyangkut Irak. Irak di bawah rezim Saddam Husein sempat mendapat dukungan AS ketika perang dengan Iran pada 1980-an. Walaupun akhirnya AS terpaksa menyingkirkan Saddam dari kekuasaan dan pemerintahan jatuh ke tangan Syiah.
Menurut Khamenei, konflik saat ini bukanlah antara Suni dan Syiah. Tapi, katanya, AS sengaja membuat konflik seakan menjadi perang sektarian. AS ingin memiliki hegemoni lebih di Irak. Washington juga berharap agar pemimpin Irak ke depan merupakan antek mereka. "AS telah memanfaatkan pemberontak Suni dan loyalis partai Saddam dulu, Partai Bath," ujarnya.
Kehilangan perbatasan
Pemerintah Irak kembali kehilangan kendali kekuasaannya di perbatasan sebelah barat. Para pemberontak ISIS berhasil merebut dua perlintasan utama di Provinsi Anbar yang menghubungkan dengan Suriah dan Yordania. Mereka menduduki pos perbatasan al-Waleed di perbatasan Suriah dan Turaibil di perbatasan Yordania.
Para pemberontak merebut wilyah tersebut sehari setelah menguasai kota perbatasan, Qaim. Selain itu, bandara penting di Tal Afar pun dilaporkan telah jatuh ke tangan pemberontak. Sejak jatuhnya kota kedua terbesar Irak Mosul pada awal Juni lalu, ISIS berhasil menguasai sejumlah kota lainnya di barat dan utara. Mereka mengambil alih empat kota penting di provinsi Anbar, yakni Qaim, Rutba, Rawa, dan Anah.
Menurut para pengamat, dikuasainya perlintasan perbatasan dapat mempermudah ISIS mendapatkan dan mengirimkan senjata serta perlengkapan perang lain. Seorang pemimpin suku mengatakan, 90 persen Provinsi Anbar berada di tangan pemberontak. Di sejumlah tempat, para pasukan militer dan kepolisian terlihat meninggalkan pos penjagaan mereka. Sehingga, para pemberontak pun dapat dengan mudah mendudukinya.
Pemimpin suku Suni di Anbar mengatakan bahwa anggota pemberontak ISIS yang menguasai provinsi tersebut hanya terdiri atas beberapa orang. Kebanyakan merupakan orang-orang suku dan mantan anggota keamanan dari era Saddam Hussein. Syeikh Raad al-Sulaeiman, tokoh senior di Ramadi, menyebut alasan pemberontak menduduki banyak wilayah karena para pasukan tentara Irak tidak dipersiapkan untuk bertempur.
rep:dessy suciati saputri/ap/reuters ed: teguh firmansyah