Yang unik jumlah rumah adat Wae Rebo ini harus tujuh. Jika ada keturunan yang ingin membangun lagi, ia harus membuatnya di luar kampung.
Kampung adat Wae Rebo ber ada di dasar lembah berke tinggian 1.200 MDPL. Loka si nya sangat terlindung dan dikelilingi beberapa puncak bukit.
Ada tujuh rumah adat unik berbentuk kerucut dengan formasi setengah lingkaran.Atap kerucut yang terdiri atas daun lontar dan ditutup ijuk ini dibuat hampir menyentuh tanah ini disebut Niang.
Ketujuh rumah adat ini, berdiri di atas tanah lapang seluas kira-kira tiga perempat luas lapangan sepak bola. Masing-masing Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, serta Niang Gena Maro.
Mbaru Niang Tirta Gena Maro
Di antara ke tujuh rumah adat ini, ada satu yang ukurannya tampak lebih besar dan memiliki tinggi 14 meter ini dinamakan Mbaru Niang Gendang Maro.
Rofinus mengatakan, Mbaru Niang Gendang Maro ini dipercaya merupakan rumah leluhur yang pertama datang dari Minang kabau dan membangun perkampungan adat ini.
Keistimewaan lain dari rumah adat ini ber diri lebih tinggi dibandingkan dengan mbaru niang lainnya, yang lebih kecil atau ru mah Gena. Tepat di depan Mbaru Niang Gendang Maro terdapat semacam altar berbentuk bundar.Altar setinggi satu meter yang disusun dari formasi bebatuan ini dinamakan Compang dan menjadi pusat kegiatan upacara adat oleh komunitas adat Wae Rebo.
Seperti upacara adat kasawiang, yang acap digelar saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat (Mei)
maupun upacara penti atau tahun baru, yang jamak digelar pada bulan November.
Altar bundar ini, juga menjadi sentral Kampung Adat Wae Rebo. "Semua pintu rumah adat ini menghadap ke arah Compang," tegasnya.
Yang unik jumlah rumah adat Wae Rebo ini harus tujuh. Jika ada keturunan yang ingin membangun niang maka harus di luar kawasan Wae Rebo ini.
"Prinsipnya, warga Wae Rebo meyakini jumlah ini tidak boleh lebih ataupun kurang dari tujuh bangunan rumah adat," tambahnya.
Konstruksi bangunan adat ini dibangun tanpa paku. Dalam memperkuat konstruksinya hanya diikat dengan tali yang terbuat dari rotan.
Setiap bangunan Mbaru Niang memiliki lima lantai. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.Lantai pertama disebut Tenda. Pada bagian ini terdapat bilik-bilik yang disebut Nolang. Satu bangunan rumah adat Wae Rebo bisa memiliki tujuh hingga delapan Nolang yang masing-masing ditempati satu keluarga.Masih di bagian ini juga terdapat Lutur atau tempat untuk menerima tamu. "Di lantai pertama ini juga digunakan warga Wae Rebo untuk memasak," tambahnya.
Lantai kedua bangunan Mbaru Niang disebut Lobo atau loteng. Bagian ini merupakan tampat untuk menyimpan bahan makan dan kebutuhan seharihari.
Lantai ketiga bangunan ini disebut de ngan Lentar. Di bagian ini menjadi tempat untuk menyimpan berbagai macam benih untuk berladang.
Lantai keempat, masih jelas Rofinus, disebut dengan Lempa Rae, dijadikan tempat untuk menyimpan makanan cadangan.
Hal ini untuk mengantisipasi dampak terjadinya bencana dan kekeringan.
Sementara lantai kelima atau lantai teratas bangunan Mbaru Niang disebut Hekang Kode. "Bagian ini dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan persembahan kepada leluhur," tambahnya.
Ia juga menuturkan, bangunan rumah adat yang berbentuk bulat, juga memiliki makna filosofis bagi warga yang tinggal di dalamnya.
Yakni, filosofi tentang kesatuan pola hidup manusia yang utuh dan menyatu tanpa konflik, penuh ketulusan, kebulatan hati, serta keadilan.
Bangunan Mbaru Niang, masih jelas Rofinus, ditopang oleh sembilan tiang utama. Secara filosofis ini bermakna kehidupan janin menjadi bayi selama sembilan bulan.
Tiang utama dari kesembilan pilar ini disebut bongkok. Bongkok berupa dua batang kayu yang disatukan dengan cara disambung. Batang kayu ini disebut Papa Ngando dan Ngando, yang menjadi simbol perkawinan antara lelaki dan perempuan.
Dari tujuh rumah adat ini, ada satu di antaranya yang digunakan sebagai tempat beristirahat dan bermalam di Wae Rebo.
Rumah adat ini disebut Mbaru Niang Tirta Gena Maro.
Sebuah bangunan yang arsitekturnya mirip dengan Mbaru Niang, kini juga sudah berdiri di sekitar lingkungan kampung adat Wae Rebo.
Bangunan ini merupakan perpustakaan serta tempat belajar bagi anak-anak Wae Rebo. "Ini merupakan sumbangan donatur yang peduli tehadap pendidikan anak-anak di desa adat ini," tambahnya.
Ada Rasa Minangkabau di Sini
Ada `rasa' Minangkabau di Wae Rebo.Ini saya dengar langsung dari Stefanus Rantung, salah satu tetua adat warga Wae Rebo, yang menemani saya menikmati kopi.Menurut dia, warga Wae Rebo meya kini, pa ra leluhur mereka adalah bangsa Maro, yang sejatinya berasal dari suku Minangkabau."Sebelum menetap Wae Rebo ini, le luhur kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain," jelasnya.Warga Wae Rebo, tambahnya, juga me yakini lokasi saat ini dikelilingi tujuh titik kekuatan alam yang berperan sebagai pelindung.Tujuh titik itu adalah Polo, Regang, Ponto Nao, Hembel, Ulu Wae Rebo, serta Golo Ponto.
Salah satu tanda khas Minangkabau juga melekat pada Mbaru Niang Gendang Maro. Pada ujung atap rumah adat ini memiliki tanda khusus.
Tanda khusus ini berupa Ngando, yang disimbolkan dengan wujud tanduk kepala kerbau. "Tanduk kerbau menjadi kekuatan budaya rumah adat tersebut," tambahnya.
Mbaru Niang yang masih diperta han kan-untuk menjaga keberlangsungan peradaban, juga menjadi simbol kon sistensi dalam menjaga warisan le luhur.
"Ini juga diakui oleh masyarakat dunia, hingga mengantarkan pada penghargaan Award of Excellence UNESCO untuk konservasi warisan budaya," tambahnya.
Pesona dari Selat Terganas
Meski penerbangan langsung dari sejumlah kota besar, tak ada salahnya mengakses Labuan Bajo dengan transportasi laut dari Pelabuhan Sape, Bima.
Perjalanan Sape Labuan Bajo selama hampir enam jam dengan kapal feri juga relatif nyaman. Ada banyak pi lihan tempat duduk di ruang VIP maupun di anjungan kapal.
Disebut selat terganas, lalu lintas penyeberangan kapal feri rute Sape Labuan Bajo ini kerap ditunda karena pertimbangan kondisi perairan dan arus laut. Namun, menikmati perjalanan ini cukup memanjakan mata. Jajaran pulau-pulau kecil menyuguhkan panorama alam yang luar biasa.
Pun demikian dengan dengan pulaupulau besar yang didominasi hamparan sabana, seperti Pulau Sangeang, Pulau Banta, serta Pulau Komodo.
Cuaca yang cukup kering menjadikan padang sabana ini mengering.Alhasil, gugusan pulau ini cenderung berwarna kuning. Gugusan pulau sabana inipun laksana bongkahan emas yang menyembul dari birunya laut Flores.
Sesekali, pemandangan yang tak kalah menarik tersaji dari buritan maupun lambung kapal feri, saat melintas di perairan Pulau Komodo.
Dari kedua lokasi ini, saya dapat menyaksikan tarian-tarian eksotis sekelompok lumba-lumba yang bermain dan seolah memang menghibur para penumpang kapal.
Perjalanan yang hampir memakan waktu enam jam menuju Labuan Bajo pun seolah menjadi sangat pendek. Su guhan panorama yang cukup memanjakan mata.
Hangatnya Sambutan Warga Adat Wae Rebo
Semalam di Kampung Adat Wae Rebo Sudah menjadi kebiasaan, setiap tamu yang datang berkunjung ke Wae Rebo terlebih dahulu harus menyambangi Mbaru Niang Gendang Maro.
Pun demikian dengan Rofinus, yang membawa saya bertandang untuk menemui perwakilan tetua adat. Ada ritual Waelu'u atau penghormatan kepada leluhur di sana.
Ritual ini berlaku saat wisatawan datang di Wae Rebo maupun saat akan meninggalkan desa adat ini.
"Maksudnya agar tamu yang datang senantiasa diberikan keselamatan selama di Wae Rebo dan bisa pulang ke rumah dengan selamat," jelasnya.
Kedatangan saya bersama Macarius dite ri ma oleh perwakilan tetua adat Stefanus Ran tung, di rumah adat Mbaru Niang Gendang Maro.Ia juga didampingi beberapa warga lain yang tinggal di rumah adat ini. "
Tabe mai lejong se beo dami(selamat datang di desa kami--Red)," ungkap pria yang telah berusia 60 tahun ini dalam bahasa Manggarai.
Macarius --selanjutnya-menyampaikan maksud kedatangan saya untuk singgah semalam di kampung Wae Rebo. Dari jawaban yang disampaikan perwakilan tetua adat mengizinkannya.
Sejenak berakrab-akrab, saya pun segera dibawa Macarius untuk menuju Mbaru Niang Tirta Gena Maro. Rumah adat ini berada paling ujung setelah gerbang perkampungan Wae Rebo.
Para perwakilan tetua adat juga menga ku senang dengan kunjungan saya. Ia pun segera meminta untuk sejenak beristirahat sambil menikmati kopi khas Wae Rebo.
Nyaman Untuk menikmati malam di Wae Rebo, rumah singgah para tamu ini memiliki fasi litas yang lengkap. Seperti tikar pandan sebagai alas tidur, bantal, selimut, serta empat kamar mandi yang bersih.
Ruangannya juga cukup bersih dan tertata cukup rapi. Ruangan rumah Gena ini setidaknya mampu menampung sekitar 40 orang tamu bermalam.
Meski udara cukup menusuk tulang pada malam hari, beristirahat dalam Niang Tirta Gena Maro cukup hangat. Tak sedikit pun rasa dingin menyergap.
Bahkan, meski badan berasa letih setelah tenaga terkuras selama perjalanan menuju desa adat ini, istirahat tetap dapat dinikmati dengan nyaman.
Setidaknya, ini saya rasakan sendiri saat beristirahat di Mbaru Niang Gena Maro.Walaupun di Wae Rebo belum masuk jaingan listrik, namun malam di desa adat ini tidak bakal gelap gulita. Ada genset yang mampu membangkitkan listrik untuk kebutuhan warga Wae Rebo.
Namun, energi listrik ini hanya berlaku mulai pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi waktu setempat. Pada siang hari, kebutuhan listrik mengandalkan listrik tenaga surya yang sudah terpasang di tiap-tiap mbaru niang.
Blasius Mota menambahkan, untuk dapat menikmati suasana Wae Rebo, memang diharuskan menggunakan jasa pemandu dari Denge. Untuk jasa pemandu lokal dibanderol Rp 150 ribu per grup.
Sedangkan wisatawan dapat bermalam di Mbaru Niang Tirta Gena Maro dengan tarif Rp 250 ribu per orang per malam. Harga tersebut sudah termasuk makan sebanyak tiga kali.
Apabila tidak menginap pengunjung ke Wae Rebo cukup dikenakan tarif Rp 100 ribu per orang. "Namun, tetap mendapatkan satu kali makan," jelasnya.