Ahad 28 Sep 2014 12:31 WIB

Terpikat Raja Ampat

Red: operator
Pulau Pianemo, Raja Ampat.
Pulau Pianemo, Raja Ampat.

Awal September 2014 Republika mengikuti kegiatan CSR BCA selama sepekan ke beberapa tempat di Papua.Di antara kegiatan di Sorong dan Raja Ampat, berikut perjalanan yang sempat dilakukan.

Angin kencang menampar-nampar pipi. Kami setengah merangkak di atap feri itu.`'Hati-hati, bisa jatuh terbawa angin,'' seorang awak feri Marina Express mengingatkan.

Saya dan Wulandari, seorang rekan dari media nasional, melihat ke sekeliling. Laut biru dan pulau-pulau tampak kecil di kejauhan. Di sebelah kanan terlihat seorang perempuan berambut gimbal, berjaket cokelat, mengenakan kacamata lebar yang melindunginya dari silaunya sinar matahari.

"Angin kencang sekali,'' katanya sambil tersenyum. Gigi putihnya berjajar rapi, meng hiasi senyum di bibirnya. Kulitnya yang agak gelap membuat penampilannya eksotis.

"Yufon,'' ujarnya saat kami ber kenalan. Dia berasal dari Serui, tinggal di Waisai, tempat yang kami tuju.Di bawah limpahan matahari yang terik perjalanan 74 km Sorong-Waisai itu sudah menunjukkan gelagat yang menyenangkan. Kami ter li bat dalam percakapan yang asyik tentang Raja Ampat. Tak rugi rasanya meninggalkan ruang VIP ber-AC di bawah.

Pulau Saonek Monde yang tadinya merupakan pusat pemerintahan di Kabupaten Raja Ampat berada di kiri kami. Jaraknya dekat sehingga rumahrumah di atasnya terlihat walaupun tak cukup jelas. Tiba-tiba Yufon menunjuk kearah kiri, ke tiga buah pulau --Pulau Kri, Mansuar, dan Yembekwan-berjajar di kejauhan sana. `'Tiga pulau itu, menjadi satu, nah, Waisai sudah di depan,'' katanya, tersenyum lebar.

Benar kata dia. Feri kami merapat ke der maga pelabuhan Waisai. Di situ saya berpisah dengan Yufon, setelah saling bertukar nomor telepon dan nama akun facebook tentunya.

Di Raja Ampat

Membolak-balik laman di dunia maya, saya temukan Kabupaten Raja Ampat terdiri atas empat pulau besar, Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta. Di Pulau Waigeo inilah Waisai, ibu kota kabupaten berada. Saat kami ke sana, Waisai tampak sebagian telah berbenah diri, sebagian lagi pembangunan jalan tengah berlangsung.

Kami bersembilan dalam rombongan BCA bermalam di Waigeo Resort. Sebuah resor di tengah kawasan cagar alam. Semua cottage menghadap ke pantai. Deburan ombak terdengar amat jelas dari dalam ba ngunan serbakayu itu. Suara burung dengan aneka bunyinya mengisi hari dari pagi hingga malam. Dua malam mereka dan nyamuk-nyamuk pantai menemani kami.

Resor kami lumayan jauh dari pusat kota.Zakarias Wader (37 tahun), PNS Dinas Pariwisata Raja Ampat, mengantar Wulan, Efoni, dan saya yang penuh keingintahuan mengunjungi Waisai di malam hari. Berkendara mobil, kami menyusuri jalan-jalan yang lapang. Peletakan rumah tertata rapi. `'Ini Masjid Agung Waisai, masjidnya diperbarui untuk musabaqah tilawatil Quran (MTQ) kemarin,'' katanya. Hari gelap saya tak bisa melihat dengan jelas masjid yang ditunjuknya.

Zaka yang juga nakhoda speedboat kami melajukan mobil menyusuri jalan-jalan bersih dan tertata rapi. Dia membawa kami ke Pantai WTC tempat warga berkumpul di sore hari. Karena saat itu malam dan bukan pula Sabtu malam, tak seorang pun terlihat di situ. Tak terlalu banyak yang didapat dari pemandangan kota yang mulai gelap.

Berlarian di Tengah Laut

Di kejauhan sudah tampak sebuah pera hu bersandar di tengah laut. Para penumpangnya berenang, berfoto-foto di tengah laut. Semakin dekat, tampaklah mereka bermain di daratan pasir putih. Itulah tempat yang dijanjikan, Pasir Timbul.

 

Lokasinya dekat Pulau Kri dan Pulau Koh. `'Nama sebenarnya Pulau Koh, tapi panggilan masyarakat umum Pulau Roti,'' kata Zakarias Wader, boatman, kami.

Pulau Pasir Timbul adalah pulau pasir putih yang seluas lapangan sepak bola. Na mun, itu tentunya saat laut sedang surut yang terendah. Saat kami datang, hari sudah sore.

Luas daratan sudah menyempit. Di belakang kami tampak Pulau Roti yang hijau. Bentuknya mirip roti yang baru keluar dari oven.

Air sekitar daratan yang kering tidaklah dalam. Sejauh masih tampak pasir putih, pertanda laut tak dalam. Siapa yang kuat hati untuk tidak meloncat ke dalam air sejernih itu?

Empat Telur yang Menetas

Nama Raja Ampat, menurut mitos masyarakat setempat, berasal dari seorang wanita yang menemukan tujuh telur.

Empat butir di antaranya menetas menjadi empat orang pangeran.

Mereka berpisah dan masing-masing menjadi raja yang berkuasa di Waigeo, Salawati, Misool Timur, dan Misool Barat.

Sementara itu, tiga butir telur lainnya menjadi hantu, seorang wanita, dan sebuah batu.

Dalam perjalanan sejarah, wilayah Raja Ampat telah lama dihuni oleh masyarakat bangsawan.Mereka menerapkan sistem adat Maluku.Dalam sistem ini, tiap desa dipimpin oleh seorang raja.

Semenjak berdirinya lima kesultanan Muslim di Maluku, Raja Ampat menjadi bagian klaim dari Kesultanan Tidore.

Setelah Kesultanan Tidore takluk dari Belanda, Kepulauan Raja Ampat menjadi bagian klaim Hindia-Belanda.

Reportase oleh Nina Chairani

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement