Senin 16 Jan 2017 14:00 WIB

Perkuat Unit Siber

Red:

JAKARTA — Pemerintah diharapkan tidak hanya membentuk Badan Siber Nasional (BSN), tetapi juga memprakarsai penguatan unit-unit siber di tubuh Polri, BIN, dan Kemenhan.

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai, penguatan semua unit siber itu menjadi sangat penting untuk menangkal potensi serangan siber yang marak belakangan ini. Termasuk serangan yang mengganggu aspek pertahanan dan keamanan nasional serta serangan yang berpotensi merusak ketertiban umum.

 

"Untuk merespons serangan siber dari manapun, Indonesia saat ini sudah memiliki unit cyber deffence di Kementerian Pertahanan, cyber intelligence di BIN, dan cyber security di tubuh Polri. Oleh karena tantangannya terus tereskalasi, penguatan unit-unit siber di Polri, BIN, dan Kementerian Pertahanan itu perlu menjadi perhatian khusus dari Presiden Jokowi," katanya, Ahad (15/1).

Menurut Bambang, eskalasi tantangan itu bisa dilihat dari keberhasilan agen rahasia Rusia menjebol pertahanan siber Amerika Serikat (AS). Badan-badan intelijen AS yang kondang, seperti Central Intelligence Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI) sudah membuat pengakuan terbuka bahwa jaringan agen rahasia Rusia berhasil membobol pertahanan mereka.

 

Melalui serangan siber, Rusia mampu mengintervensi pemilihan presiden AS, November 2016, dan sukses membantu kemenangan calon dari Partai Republik Donald Trump. Pembobolan pertahanan siber AS oleh Rusia itu tidak hanya membuat malu CIA dan FBI, tetapi juga membangun rasa cemas di AS. Komunitas agen rahasia AS dalam FBI ataupun CIA kini mencemaskan masa depan keamanan nasional negeri itu.

 

"Pengalaman buruk AS itu patut dijadikan pelajaran oleh Pemerintah Indonesia. Apalagi, Indonesia tidak hanya rentan akan serangan siber, tetapi juga sudah punya pengalaman buruk oleh serangan intelijen asing," katanya.

 

Presiden RI, ibu negara, sejumlah menteri, dan pejabat tinggi negara pernah menjadi target penyadapan oleh para agen rahasia Defence Signals Directorate Australia. Selama 15 hari sepanjang Agustus 2009, intelijen Australia menyadap kegiatan Presiden RI melalui telepeon genggam.

 

Menjelang akhir 2010, Wikileaks mengaku memiliki tak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik Pemerintah AS. Informasi rahasia itu mencatat berbagai informasi tentang Indonesia. Dokumen itu adalah laporan diplomatik yang dikirim Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta dan Konsulat Jenderal (Konjen) AS di Surabaya.

 

Kini, kata Bambang, potensi ancamannya tak lagi hanya berupa penyadapan atau pencurian dokumen. Ragam rahasia negara bisa dibobol dengan modus serangan siber. Sekali lagi, kasus serangan siber oleh agen rahasia Rusia ke AS patut dijadikan pelajaran untuk mengingatkan pentingnya Indonesia meningkatkan kewaspadaan agar tidak menjadi target serangan siber oleh intelijen dari negara lain.

 

"Karena itu, sangat relevan jika Presiden Jokowi segera memperkuat unit-unit siber di tubuh Polri, BIN, dan Kementerian Pertahanan," ujarnya.

Sementara, pengamat keamanan siber, Pratama Persadha, mengatakan, masyarakat sejauh ini menganggap BSN hanya bertugas mengurusi berita hoax. Padahal, BSN ini punya tugas yang sangat luas, mengamankan wilayah siber Tanah Air. Memerangi peredaran konten hoax hanya sebagian kecil dari tugas BSN.

"Penting untuk disosialisasikan ke seluruh elemen masyarakat bahwa BSN bertugas melindungi segenap masyarakat di dunia maya, termasuk dari konten hoax. Jangan sampai masyarakat berpikir BSN ini hanya dibuat untuk menghadapi hoax," jelasnya, dalam siaran pers yang diterima, Ahad (15/1).

Pratama menambahkan, BSN sendiri mempunyai empat fungsi utama. Pertama, fungsi proteksi dan deteksi serangan dini. Sampai saat ini belum ada lembaga yang berfungsi mengetahui serangan siber secara dini dan siapa yang bertugas mempertahankan sistem infrastruktur kritis negara yang tersambung satu sama lain.

Serangan siber baik berasal dari state maupun non-state selalu menyasar pada infrastruktur kritis negera, seperti perbankan, pemerintah, pendidikan, kesehatan, listrik, air dan energi. "Ini terjadi di Estonia 2007 lalu. Jangan sampai kita jadi korban selanjutnya," kata chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.       rep: Eko Supriyadi, Amri Amrullah, ed: Muhammad Hafil

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement