Selasa 07 Oct 2014 12:00 WIB
buah hati

Kebahagiaan Masa Kecil

Red:

Menjadi orang tua tunggal, seluruh tugas pengasuhan berpindah sepenuhnya ke pundak saya. Saya tak henti berusaha menjamin kebahagiaan Ihsan (6 tahun), Aira (5), dan Aisyah (4 bulan). Saya ingin mereka menjalani masa kanak-kanaknya dengan indah dan bahagia meskipun ayahnya tak lagi tinggal bersama kami. Untuk itu, saya harus memberi perhatian dua kali lipat pada Ihsan, Aira, dan Aisyah. Ketiganya memiliki ciri khas masing-masing. Ihsan tidak bisa diam. Hobinya berlari dan meloncat ke sanasini.

Aira ekspresif, seringkali langsung melontarkan pertanyaan ini dan itu, meski di dalam kendaraan umum sekalipun. Aisyah, si bayi, hobi tertawa dan senang diajak bercanda. Saya berusaha meladeni ketiganya yang butuh perhatian ekstra sembari membenahi urusan lainnya. Alhamdulillah, mereka penurut dan tidak rewel sehingga saya tak pernah kesulitan menjalani peran ganda sebagai orang tua.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Dok Pribadi

Kenyataannya, kehidupan tak selalu berjalan mulus. Saya ingin anak-anak siap dalam menghadapi hari depan yang berwarna dan bisa tetap bahagia dan bersyukur dalam keadaan apapun. Bagaimana caranya menjadikan anak-anak tetap bahagia, sementara format keluarga ideal sudah pasti tak mereka dapatkan? Bagaimana agar mereka bisa bahagia sementara saya juga masih menata hati?

Kami baru beberapa bulan berpisah rumah dengan sang ayah. Selama ini tak ada pertanyaan menuntut atau tangisan. Sepertinya, mereka belum mengenal kata "perpisahan." Akan tetapi, ada kalanya mereka menanyakan ayahnya. "Bunda, kenapa Ayah tidak ikut pindah ke sini?" "Kenapa kita di sini dan Ayah di sana?" "Kenapa Ayah nggak ada waktu Kakak Ihsan ulang tahun?"

Pertanyaan Ihsan dan Aira saya jawab dengan bahasa anak-anak. Saya ingin mereka mengerti. Bergantian, saya tangkup pipi mereka seraya menatap matanya yang bulat dan bening, mata yang menunggu jawaban. Saya bilang, "Kakak Ihsan dan Aira, senang nggak di sini?" "Senang!" Mereka menjawab dengan polos.

"Ayah di sana sedang ada urusan yang menurut Ayah jauh lebih penting. Yuk kita doakan semoga Ayah baik-baik saja." Tangan kecil mereka lalu spontan terangkat ke atas dan berdoa, "Ya Allah, tolongkan bunda aku…"

Meski saya minta mereka mendoakan ayahnya, doa mereka selalu dimulai dengan, "Tolong kan Bunda aku.." Ini kebiasaan mereka sejak lama. Dulu, kalau saya sakit, tanpa diminta mereka suka membantu meredakan dengan memijit kening, kaki, atau membawakan air minum. Sambil berterima kasih, saya minta mereka mendoakan. "Doain Bunda biar cepat sembuh, ya Nak." Karena masih kecil, mereka memulai doa dengan kata "tolongkan".

Setiap mereka mulai bertanya lagi soal ayahnya, saya akhiri dengan meminta mereka mengirim doa. Itu saja. Saya merasa tak perlu menjelaskannya panjang-lebar. Cukup doa agar anak-anak juga belajar jika ada sesuatu yang di luar kuasa mereka, berdoa yang banyak.

Begitulah anak-anak. Hadiah dari Tuhan ini begitu indah. Dari mereka kadang muncul halhal menakjubkan yang membuat kita terpana, tersenyum, juga tertawa. Maka apapun yang terjadi, sesulit apapun, saya usahakan bersama mereka, membesarkan mereka. Saya juga ber usaha tetap bahagia, agar bisa membahagiakan anak-anak. Saya lantas memperbanyak syukur.

Bertemankan keluarga besar, kini saya berusaha menata hidup. Saya bersyukur dulu Papa membesarkan saya dengan banyak bacaan sehingga saya memiliki keterampilan menulis. Keteram pilan itu sangat bermanfaat mengingat saya tak lagi bekerja kantoran. Saya tak pernah tahu apa yang Allah tentukan terhadap takdir anak-anak, tetapi setidaknya saya mencoba memberikan yang terbaik agar kelak mereka bisa tetap bahagia dan bersyukur dalam keadaan apapun.

Oleh Ami Susiani

Ibu Tiga Anak Berdomisili Di Depok, Jawa Barat

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement