Sabtu 13 Apr 2013 08:15 WIB

KPU Bisa Cabut Izin Media Massa

Red: Zaky Al Hamzah
Indonesian General Elections Commission (KPU) logo (illustration)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Indonesian General Elections Commission (KPU) logo (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 2013 mengatur sejumlah sanksi bagi media yang melanggar ketentuan kampanye terkait Pemilu 2014. Salah satu bentuk sanksinya adalah pencabutan izin penyiaran dan penerbitan media massa.

Ketentuan soal kampanye di media massa diperinci sepanjang Pasal 40 sampai 46. Dalam pasal-pasal tersebut, ditentukan bagaimana semestinya media massa menyiarkan kampanye peserta pemilu. Di antaranya, soal durasi, spot iklan, batas waktu pemasangan, hingga standar tarif iklan kampanye.

Dalam Pasal 45 ayat (2), disebutkan bahwa pelanggaran-pelanggaran kampanye oleh media massa diserahkan pada Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Di ayat selanjutnya, KPU bisa memberikan sanksi bila KPI dan Dewan Pers tak menanggapi laporan pelanggaran yang disertai bukti, tujuh hari selepas pelaporan.

Pasal selanjutnya menerangkan soal bentuk-bentuk sanksi yang bisa dikenakan bagi media elektronik, online, dan cetak. Dalam Pasal 46 ayat (1) huruf f, salah satu sanksi adalah pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin

penerbitan media massa cetak.

Komisioner KPI Idy Muzayyad menilai, sanksi tersebut kebablasan. “Pencabutan itu terlalu jauh, itu bukan wewenang KPU juga,” ungkapnya kala dihubungi, Jumat (12/4).

Dalam Undang-Undang Penyiaran, Idy mencontohkan, pencabutan izin penyiaran harus melalui putusan pengadilan. Tidak bisa dilakukan KPI sendiri.

Idy juga mempertanyakan dari mana KPU mencomot aturan soal sanksi pencabutan izin. Menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, tak termaktub sanksi pencabutan izin media massa.

KPI sebenarnya telah mengajukan draf soal pengaturan kampanye media massa ke KPU. Dalam usulan yang disiapkan KPI, sanksi yang diatur hanya mencakup teguran, pengurangan durasi, hingga penghentian sementara mata acara yang dinilai melanggar.

Setahu Idy, KPU juga menjanjikan pembahasan dengan KPI dan Dewan Pers soal aturan kampanye di media massa. Kendati demikian, ia belum mendengar kelanjutan rencana tersebut. “Mungkin karena belum prioritas atau apa, jadi belum ada kelanjutan hingga sekarang,” jelas Idy.

Anggota Dewan Pers Nezar Patria juga mengatakan, sanksi pencabutan izin tersebut kurang tepat. “Sanksi sampai dengan pencabutan izin penerbitan atau penyiaran ini mungkin akan menimbulkan salah tafsir,” ujarnya, kemarin.

Pemberedelan adalah tradisi zaman Orde Lama dan Orde Baru untuk membungkam media massa yang tak sejalan atau menyinggung pemerintahan. Menurut Nezar, sejak era Reformasi, praktik pemberedelan dihapuskan melalui Undang-Undang Pers.

Nezar mengingatkan, PKPU juga mengatur bahwa Dewan Pers memiliki wewenang memberikan sanksi. Karena itu, Dewan Pers akan mengabaikan pasal tersebut dan berpedoman pada UU Pers dalam menjatuhkan sanksi. 

Meskipun begitu, Dewan Pers tetap akan menemui KPU untuk meminta klarifikasi atas pasal pemberedelan dalam PKPU. “Perlu kami tegaskan juga ke KPU bahwa di dalam UU Pers tidak dikenal lagi adanya pemberedelan,” jelas Nezar. n c51 ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement