REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Agama (Kemenag) mengindikasikan dalam beberapa tahun mendatang, kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis ulama. Hal ini akan terjadi jika lembaga pendidikan Islam, seperti pondok pesantren (ponpes), tidak melakukan kaderisasi ulama.
Hal itu disampaikan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali dalam diskusi antara Menteri Agama, pengurus Nahdlatul Ulama (NU), dan pengurus Lembaga Pendidikan Maarif di Yogyakarta, Rabu (15/5). “Indikasi ke arah sana sudah mulai terlihat. Karena itu, perlu diantisipasi,” kata dia.
Pernyataan Menag ini berdasarkan indikator mulai menurunnya siswa peserta didik yang tertarik masuk pesantren. Ini juga ditambah dengan makin sedikitnya orang yang ingin mempelajari kitab kuning.
Suryadharma menjelaskan dewasa ini banyak santri lulusan ponpes yang masuk ke universitas umum. Sebagian besar memilih menjadi pekerja profesional atau akademisi. Dan, semakin sedikit lulusan pesantren itu yang tetap mempertahankan keilmuannya di bidang agama.
Karena itu, ia meminta lembaga pendidikan Islam, khususnya ponpes, agar meningkatkan kualitas dan memiliki pembeda dengan universitas lainnya. Terlebih, ponpes di bawah naungan ormas berbasis pesantren seperti NU.
Menurut Suryadharma, turunnya minat anak didik masuk ponpes dan kurangnya animo orang mempelajari kitab kuning, diikuti dengan sulitnya posisi lembaga pendidikan Islam yang kebanyakan berstatus swasta. “Bahkan, ada anggota NU yang tak berkeinginan memasukkan putranya ke Lembaga Pendidikan Ma’arif,” ujarnya.
Hal berbeda disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul UIama (PBNU) KH Said Aqil Siroj. Ia mengatakan kaderisasi ulama memang menghadapi masalah belakangan ini. Namun, ia yakin di kalangan NU masih banyak santri yang memiliki semangat untuk melanjutkan semangat para ulama.
Said menilai isu krisis ulama yang beberapa dekade terakhir banyak menerpa lembaga pendidikan Islam berdampak pada semakin minimnya siswa yang tertarik mendalami ilmu keagamaan. “Selain itu, para santri lulusan pondok pesantren pun memiliki permasalahan tersendiri,” katanya.
Memang, lanjut dia, banyak santri yang kemudian masuk perguruan tinggi dan menjadi pekerja profesional. Namun, menurutnya, semua itu masih baik. Sebab, perpaduan pendidikan pesantren dan perguruan tinggi sangat dibutuhkan untuk mencetak para ulama andal. Dari pesantren inilah, santri diajarkan kitab kuning yang di dalamnya terdapat beragam khazanah keilmuan Islam.
Memperbarui metodologi
Di kalangan NU, kitab kuning menjadi penentu bagaimana pemahaman agama dikuasai. Dari kitab kuning inilah materi pemahaman agama Islam didapatkan. Dan, ilmu keagamaan ini sebenarnya masih sangat mentah. Para santri perlu meracik ilmu tersebut agar bisa dikontekstualisasikan.
Said pun tidak mempermasalahkan jika saat ini ulama tidak lagi hanya lulusan pesantren. Ulama memang harus dilengkapi ilmu agama, tapi yang paling penting adalah memperbarui metodologi. “Santri juga perlu memahami metodologi itu, termasuk cara dakwah. Dan, itu hanya bisa didapat di perguruan tinggi, bukan di pesantren,” ujarnya.
Menurut Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof KH Satori Ismail, standar lulusan ponpes tradisional memiliki karakter sendiri yang tak bisa disamakan dengan pesantren modern. “Jika standar ulama hanya didasarkan pada lulusan pesantren tradisional, akan jadi masalah,” katanya.
Sebab, di tengah arus globalisasi dan perkembangan informasi saat ini, ulama tidak hanya diukur dari kemampuan agama yang mendalam atau pemahaman kitab kuning yang tinggi, tapi bagaimana ulama dapat menyampaikan isi ajaran Islam melalui metodologi dakwah yang tepat. Karena itu, kata dia, dibutuhkan ilmu-ilmu umum yang mumpuni juga, termasuk wacana keilmuan terkini.
Satori mengatakan kaderisasi para ulama harus diarahkan pada bagaimana menciptakan ulama intelektual. Program keulamaan juga harus diarahkan untuk menjadikan ulama sebagai sosok yang profesional dan terampil, tidak hanya terpaku pada masalah agama. n amri amrullah ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.