REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Investor swasta kurang berminat menanamkan modalnya di Indonesia. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan alasan kurangnya minat swasta berinvestasi lantaran swasta membutuhkan modal yang besar untuk pembiayaan infrastruktur.
“Kemampuan APBN dalam pembiayaan infrastruktur terbatas,” kata Bambang dalam diskusi bertema “Dukungan dan Sinergi Kebijakan Antarkementerian dalam Tahapan Pembangunan Industri Nasional”, di Jakarta, Senin (24/6).
Bambang melanjutkan, investasi di Indonesia memang memiliki risiko tinggi dengan imbal hasil investasi yang rendah. Karena itu, Indonesia membutuhkan sovereign wealth fund (SWF) sebagai alternatif sumber pembiayaan. SWF akan menjadi kendaraan finansial milik negara yang memiliki atau mengatur dana publik serta menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam. SWF ibarat tabungan negara yang diinvestasikan untuk tujuan investasi. “SWF memiliki fungsi stabilisasi, investasi, dan tabungan,” tuturnya.
Adapun sumber dana SWF, kata Bambang, berasal hasil sumber daya yang tidak dapat diperbarui, seperti minyak dan gas, serta dana berupa aset keuangan, seperti saham, obligasi, properti, logam mulia, dan instrumen keuangan.
Menurut Bambang, sumber pendanaan SWF di Indonesia tidak bergantung pada komoditas ataupun surplus cadangan devisa resmi. Pendanaannya bersifat work closely dengan pemerintah Indonesia, dengan menciptakan dana terpisah untuk menangani proyek yang berkaitan dengan infrastruktur dan lingkungan.
Dia menambahkan, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) adalah cikal bakal SWF Indonesia. PIP dibentuk dengan tujuan untuk mengakomodasi bentuk dan jenis investasi yang selalu berkembang sesuai kondisi perekonomian dunia. “PIP juga menjadi katalis dalam keterlibatan pihak swasta bersama pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia,” tuturnya.
Adapun peran strategis PIP di antaranya adalah mengelola dana investasi yang tidak terikat dengan tahun anggaran, melaksanakan investasi pada sektor-sektor infrastruktur dengan pola kerja sama pemerintah swasta (KPS) maupun pinjaman kepada pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta memiliki sumber dana investasi yang dikelola secara mandiri.
Keberadaan PIP juga bertujuan mencegah adanya crowding out dengan perbankan karena PIP tidak melakukan investasi pada sektor yang diminati lembaga pembiayaan komersial. “Total dana investasi yang dikelola PIP pada tahun 2013 mencapai Rp 26,4 triliun,” kata Bambang.
Dia memaparkan, secara kumulatif, penyaluran investasi pinjaman hingga 28 Februari 2013 mencapai Rp 1,56 triliun. Perinciannya, Rp 500 miliar untuk pembangunan 11 ruas jalan dan satu jembatan di Sulawesi Selatan, Rp 190 miliar untuk pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) tipe B di Sulawesi Tenggara, dan Rp 118,5 miliar untuk pinjaman modal kerja dalam rangka pengadaan 1.200 unit gerbong PPCW di PT Industri Kereta Api Indonesia (INKA).
Bambang menjelaskan, rencana kerja PUP terdapat di sejumlah proyek, antara lain pembangkit listrik tenaga minihidro (PLMTH) biomassa senilai Rp 211,7 miliar dan kerja sama pemerintah swasta (PPP) sebesar Rp 100 miliar. Selain itu, pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sebesar Rp 7 triliun, fasilitas dana geotermal, pinjaman kepada pemerintah daerah Rp 450 miliar, dan pinjaman kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 350 miliar.
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto menyatakan, legislasi Indonesia yang masih terlalu berorientasi sektor perlu diubah ke arah yang integratif. Kadin pun mengharapkan sebuah konsep industrialisasi yang benar-benar konsisten dan integratif.
“Upaya yang dilakukan hingga saat ini masih terkotak-kotak dan lebih mengedepankan kepentingan sektoral sehingga kurang memungkinkan terwujudnya konvergensi program pada penguatan pembangunan dan pengembangan industri,” kata Suryo.
Suryo melanjutkan, distorsi kebijakan karena tarik-menarik kepentingan harus dihentikan. Sumber daya alam (SDA) harus diolah di dalam negeri dan digunakan untuk melakukan industrialisasi dengan mengubah ekonomi berbasis SDA menjadi ekonomi berbasis industri yang bernilai tambah. “Sistem perpajakan dan sistem fiskal pada umumnya perlu disesuaikan agar industrialisasi nasional tumbuh dengan kuat,” ujarnya. n rr laeny sulistyawati ed: eh ismail
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.