Sabtu 27 Jul 2013 06:20 WIB
Khazanah Ramadhan

Menjemput Rezeki di Pelataran Masjid

Pedagang Kaki Lima (ilustrasi)
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Pedagang Kaki Lima (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Puluhan pedagang menyambut jamaah selepas shalat Jumat (26/7) di pelataran Masjid Cut Mutiah, Jakarta. Ini merupakan Jumat ketiga di bulan Ramadhan. Beragam barang dijual pada pedagang yang hadir setiap pekan tersebut.

Mulai baju Muslim, kaus, jaket, sepatu, kaca mata, buku, hingga minyak wangi tersedia di situ. Pedagang menggelar tikar atau karpet untuk memajang barang dagangannya. Tak ada harga mati, semua barang bisa ditawar bergantung kesepakatan kedua belah pihak. Seorang pengunjung, Joko, mengatakan, harga yang dijual di bawah harga pasaran. Ia juga mengakui kualitas produk lebih rendah dibandingkan dengan yang dijual di toko. Meski begitu, ia tetap membeli soket listrik yang menyediakan tiga colokan.

Kalau di toko atau pusat perbelanjaan, harganya mencapai Rp 20 ribu, di pelataran Masjid Cut Mutiah cukup ditebus Rp 5.000. “Kualitasnya mungkin kalah tipis, tapi sebanding dengan harga yang dijual sangat murah,” katanya.

Yosi, sang penjual, mengaku mendapat pasokan dari salah satu pusat grosir di Jakarta. Selain colokan listrik, gunting, pemotong kuku, maupun kabel listrik djualnya serba Rp 5.000 per item.

Pria yang memakai gamis dan kopiah ini menyatakan, keuntungan yang diraihnya terbilang tidak terlalu besar. Yang penting, kata dia, rezeki yang diterimanya barokah. “Ini soalnya saya jual murah, semua harganya sama,” kata Yosi yang mengaku baru dua pekan berjualan. Uda Hendra mengaku beruntung mendapat kesempatan bisa berjualan di pelataran masjid yang dulunya difungsikan sebagai kantor pos pada era Kolonial Belanda dulu. Pria asal Padang yang berjualan kaos kaki ini menyebut, pasokan barang didapatnya dari Pondok Kopi, Jakarta Timur.

Ia menjual kaus kaki dengan dua versi harga, pertama Rp 10 ribu dapat tiga pasang dan Rp 15 ribu dapat dua pasang. Perbedaannya, kata Hendra, kaus kaki yang dijual lebih mahal kualitas bahannya lebih bagus dan tebal. “Saya tidak ambil untung banyak, Bang,” ujarnya. Ahmad, penjual amplop berwarna hijau bergambar kaligrafi mengaku mendapat pasokan dari Pasar Grogol, Jakarta Barat. Selain jamaah shalat Jumat, ibu-ibu perkantoran yang kebetulan dan sekadar melihat-lihat, malah tertarik membeli amplop berbentuk kecil dan unik itu.

Menurut Ahmad, biasanya pembeli menggunakan amplop itu pada momen Lebaran untuk dikasihkan ke anak-anak. “Lumayan, Bang, laku. Ini baru coba-coba jualan di sini.” Pengurus Masjid Cut Mutiah Mirza Asman menjelaskan, fenomena penjual menggelar dagangannya muncul sejak 1987. Pengurus, jelas dia, tidak bisa melarang orang-orang yang sedang mencari rezeki tambahan itu.

Justru, pengurus masjid memfasilitasi dengan membiarkan mereka berdagang. Asalkan, setelah jamaah sepi, pedagang mengemasi barang-barangnya dan tidak meninggalkan sampah. “Pedagang tidak ada yang dipungut biaya, semuanya gratis. Syaratnya, harus menjaga kebersihan. Itu saja,” kata Mirza.

Ia menambahkan, puluhan orang yang menggelar dagangannya itu biasanya sudah teridentifikasi oleh petugas keamanan. Hal itu demi menjaga ketertiban dan keamanan agar aktivitas mereka terpantau. Disinggung potensi perputaran ekonomi, Mirza mengaku tidak mengetahuinya. Pengurus masjid tidak sampai sejauh itu mengurusi persoalan pendapatan pedagang. “Kita tidak mencapuri hal itu.” n erik purnama putra ed: ferry kisihandi

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement