REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Indonesia dinilai belum perlu meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Bahkan dua kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Pertanian (Kementan) secara tegas menolak ratifikasi FCTC tersebut.
Direktur Makanan dan Tembakau Kemenperin, Enny Ratnaningtyas mengatakan, jika alasan ratifikasi FCTC hanya soal kesehatan, sebenarnya Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki aturan serupa. Yaitu melalui PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Bahkan, sejak diluncurkan setahun yang lalu, aturan tersebut belum pernah diimplementasikan. Enny memaparkan, bagaimana mungkin aturan sendiri yang sudah dibuat tidak diimplementasikan, tapi pemerintah justru hendak menggunakan aturan internasional.
"Aturan dalam FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan dinamis dan rawan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan mereka (asing)," kata Enny dalam seminar bertema "Dampak Aksesi FCTC Bagi Industri Hasil Tembakau" di Jakarta, Selasa (24/12).
Menurut Enny, pada dasarnya Kemenperin mendukung perlindungan kesehatan masyarakat dalam upaya untuk mengatasi dampak negatif rokok. Namun, dikhawatirkan FCTC akan menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan terkait industri rokok, meski dalam pasal-pasal FCTC disebutkan tetap mengutamakan hukum nasional dan kondisi masing-masing negara.
Meski guideline secara hukum tidak wajib dipenuhi anggota, kata dia, negara maju anggota FCTC bakal mendorong semua anggota untuk mematuhinya.
"Ironisnya, dalam perjalanannya, negara-negara maju anggota FCTC sering melakukan review terhadap guideline FCTC dengan menambahkan aturan-aturan baru yang ketat dan seluruh anggota wajib mematuhinya,” kata Enny.
Direktur Tanaman Semusim Kementan, Nurnowo Paridjo menambahkan ratifikasi FCTC dinilai tidak statis. Belajar dari pengalaman ratifikasi food, awalnya hanya diatur soal beras.
Namun dalam perjalanannya, diatur soal yang lain seperti susu. "Sehingga kita harus mencermati dampak peraturan internasional yang lain terhadap aspek ekonomi, budaya, hukum," katanya.
Nurnowo menuturkan, para pekerja di sektor tembakau mengungkapkan kekhawatiran bahwa FCTC akan mengancam kelangsungan hidup mereka karena konsekuensi ratifikasi FCTC adalah pengendalian tembakau atau rokok.
Berdasarkan data Kementan, ada 6,1 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung di industri hulu dan hilir tembakau.
Jumlah ini terdiri dari dua juta orang petani tembakau, 1,5 juta orang petani cengkeh, 600 ribu orang tenaga kerja di pabrik rokok, satu juta orang pengecer rokok dan satu juta orang tenaga percetakan dan periklanan rokok.
Dengan melihat jumlah tenaga kerja dari beragam sektor di atas, ratifikasi FCTC dipastikan berdampak besar pada kesejahteraan pekerja di industri tembakau. Seharusnya, kata dia, Indonesia tetap fokus terhadap upaya mengimplementasikan PP 109 Tahun 2012.
Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, pemerintah perlu mengkaji lagi apakah perlu Indonesia meratifikasi FCTC. Dia mengingatkan secara substansi pengendalian tembakau patut didukung terlebih bila pengaruhnya membahayakan generasi muda. "Namun, apakah Indonesia perlu meratifikasi FCTC?" kata Hikmahanto.
Dia merasa perlu mengingatkan pengambil kebijakan bahwa perjanjian internasional oleh negara-negara tertentu kerap dijadikan instrumen pengganti kolonialisme.
Melalui perjanjian internasional maka suatu negara dapat mengendalikan negara lain, bahkan melakukan intervensi kedaulatan hukum. Indonesia memiliki banyak pengalaman terkait hal ini.
Hikmahanto menunjuk UU Hak Kekayaan Intelektual yang diamandemen bukan karena munculnya kesadaran masyarakat Indonesia, tetapi karena kewajiban dalam Perjanjian WTO yang didasarkan pada sistem hukum dan praktik di negara maju.
Kembali terkait aksesi FCTC. Dia mengingatkan pemerintah agar cermat memahami keberadaan FCTC. "Jangan sampai kedaulatan negara dikompromikan dengan kepentingan negara lain," papar Hikmahanto. n zaky