REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi terus berlanjut. Dalam penutupan perdagangan pada Jumat lalu, rupiah terapresiasi 1,3 persen menjadi Rp 11.825 dolar AS. Rupiah diperdagangkan pada rentang Rp 11.823 hingga Rp 11.960. “Semoga tidak ada sentimen negatif yang mengubah arah rupiah,” kata Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada, Ahad (16/2).
Reza optimistis, potensi penguatan rupiah masih ada, namun hal itu bergantung pada pasar. Sentimen negatif, seperti aksi jual mata uang negara-negara berkembang di pasar valuta asing, aksi ambil untung pelemahan rupiah, dan penilaian negatif mengenai rapuhnya ekonomi Indonesia, menurutnya, dapat kembali melemahkan nilai rupiah.
Namun, menurut Reza, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sedang menuju ke arah positif. Seperti yang dinyatakan pihak Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan pada triwulan IV 2013 menurun tajam menjadi 1,98 dari PDB. Inflasi pun masih akan sesuai dengan sasaran BI sebesar 4,5 ± satu persen. “Bukan bisa dibilang positif, melainkan sedang menuju ke arah itu,” ujar Reza.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bobby Rafinus menilai, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga menembus level di bawah Rp 11.900 menunjukkan respons positif pasar pada perkembangan indikator ekonomi makro yang dilansir pada Februari 2014.
Indikator-indikator tersebut, antara lain, surplus neraca perdagangan pada Desember 2013, pertumbuhan ekonomi pada 2013 yang relatif tinggi, penurunan laju inflasi tahunan pada Januari 2014, kenaikan cadangan devisa BI hingga di atas 100 miliar dolar AS, dan dipertahankannya BI Rate. “Indikator ini penting bagi kegiatan dunia usaha. Kami harapkan, realisasi potensi ini terus berlanjut pada bulan-bulan mendatang,” ujar Bobby kepada Republika, Ahad (16/2).
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di laman resmi BI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada akhir pekan lalu atau 14 Februari 2014 berada pada level Rp 11.886 per dolar AS. Berdasarkan data JISDOR, pencapaian tersebut adalah untuk pertama kalinya rupiah menembus level di bawah Rp 12 ribu per dolar AS.
Sebagai gambaran, pada awal 2014 atau tepatnya 2 Januari 2014, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tercatat Rp 12.242 per dolar AS. Nilai tukar mata uang kebanggaan Indonesia terhadap mata uang Negeri Paman Sam sempat menembus level Rp 12.047 per dolar AS pada 15 Januari 2014. Tren pelemahan pun berlanjut hingga berada pada level Rp 12.226 per 30 Januari 2014.
Tiga faktor global
Pengamat ekonomi menilai, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, baik dari global maupun domestik. Dari luar, setidaknya ada tiga faktor pendukung apresiasi.
Pertama, kata pengamat ekonomi UI Muslimin Anwar, terpilihnya kepala The Fed yang baru, Janet Yellen, yang memberi ketenangan pasar untuk tetap melakukan stimulus moneter. Ini telah meningkatkan kepercayaan investor untuk kembali menempatkan ekses likuiditas global di pasar keuangan emerging market, termasuk Indonesia. “Pasar saham dalam negeri kembali bergairah sebagaimana ditunjukkan IHSG yang meningkat seiring dengan kembali masuknya arus modal asing,” kata Muslimin di Jakarta, Ahad (16/2).
Faktor kedua, harga komoditas global mulai menunjukkan tren penguatan seiring dengan mulai menguatnya perekonomian negara maju, seperti AS dan Jepang. Ketiga, Muslimin melanjutkan, pertumbuhan ekonomi dunia mulai menunjukkan perbaikan, baik di negara maju, seperti AS dan Jepang, maupun negara berkembang yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dunia, seperti Cina dan India, termasuk Indonesia. “Bahkan, Eropa yang diperkirakan mengalami kontraksi ekonomi 0,4 persen pada akhir 2013 justru tumbuh positif,” kata pengurus PP Muhammadiyah ini.
Selain faktor global, sejumlah faktor domestik pun ikut memperkuat gerak rupiah atas dolar AS. Menurut Muslimin, setidaknya ada tiga faktor fundamental ekonomi dan teknikal dalam negeri yang cukup kuat.
Faktor pertama, surplus transaksi modal dan finansial di tengah defisit transaksi berjalan pada triwulan IV 2013 yang menurun cukup tajam menjadi 1,98 persen dari triwulan sebelumnya yang 3,5 persen. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang membaik ini menjadi faktor perbaikan fundamental yang positif.
Kedua, membaiknya fundamental ekonomi Indonesia ini juga ditopang oleh membaiknya kinerja ekspor seiring dengan meningkatnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor, seperti AS, Jepang, dan Cina. Faktor terakhir, inflasi yang masih terkendali di tengah anomali cuaca, banjir, dan tertundanya masa panen raya.
Selain itu, kata Muslimin, pemberian predikat the Guiders kepada Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dari kantor berita the Financial Times turut meningkatkan kepercayaan pasar. “Tindakan pre emptive menaikkan BI Rate sejak Juni 2013 sebagai antisipasi terhadap lonjakan inflasi pascakenaikan harga BBM bersubsidi, berhasil mengarahkan pelaku pasar meredam dampak lanjutan terhadap harga-harga,” kata Muslimin. n satya festiani/muhammad iqbal/elba damhuri ed: andri saubani.
Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.