Rabu 12 Mar 2014 12:03 WIB

Target Olahan Kayu 5 Miliar Dolar AS

Produk mebel menjadi andalan ekspor Indonesia.
Produk mebel menjadi andalan ekspor Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transaksi nilai ekspor furnitur kayu di Indonesia sangat menjanjikan. Pemerintah menargetkan, nilai ekspor furnitur kayu dalam lima tahun mendatang mencapai lima miliar dolar AS. "Targetnya, lima tahun ke depan bisa sampai lima miliar dolar AS," kata Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat, saat pembukaan acara Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2014, di Jakarta, Selasa (11/3).

Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), nilai ekspor furnitur kayu pada 2013 senilai 1,26 miliar dolar AS. Sedang, ekspor olahan rotan mencapai 188 juta dolar AS.

Target lima tahun tersebut diyakini Menperin bisa tercapai dengan bahan baku yang berkualitas di Indonesia. Jumlah bahan baku spesifik yang menjadi potensi di dalam negeri masih banyak. Seperti, kayu mahoni, jati, hingga rotan yang hanya terdapat di hutan Indonesia.

Hal ini dinilai menjadi selling point tinggi untuk bersaing dengan negara lain. Apabila negara lain berkesempatan menggunakan bahan baku ini untuk meraih nilai jual tinggi, Indonesia harus melakukan hal sama.

Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Soenoto membenarkan, Indonesia memiliki potensi besar dalam industri olahan rotan dan kayu. "Hampir 90 persen rotan dan kayu dunia berasal dari Indonesia," kata dia.

Kepulauan Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke terdapat kayu dan rotan. Sebuah potensi yang sia-sia apabila tak dimanfaatkan.

Soenoto mengatakan, Indonesia harus terus mengeksplorasi pulau-pulau dari segi bahan baku. Sebab, dari segi bahan baku, negara ini tidak kesulitan. Pulau yang masih asli, seperti Irian, Enggano, Ambon, Aceh, hingga Nusa Tenggara Barat, bisa terus digali dalam memperoleh bahan baku. Selain itu, fungsi ekspo seperti ini juga penting untuk berkiprah dalam ranah internasional.

Dalam empat tahun ini, nilai ekspor mebel meningkat sebesar lima miliar dolar AS. Meski meningkat, permasalahan terletak pada penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Dari sekitar 5.000 eksportir, hanya 600 sampai 700 eksportir yang memiliki SVLK. Persyaratan tersebut masih menjadi kendala bagi pengusaha karena banyak yang belum siap meski sudah ditangguhkan selama satu tahun.

Apabila dikalkulasikan, angkanya tidak begitu besar, sekitar 100 miliar rupiah untuk membiaya SVLK ini bagi UKM.

Pengusaha kecil keberatan karena biaya yang cukup mahal dalam sistem tersebut. Saat ini, dalam memperoleh SVLK biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 20 juta hingga Rp 50 juta.

Apabila pemerintah memang menyatakan SVLK bagus, kemudahan akses setidaknya bisa diberikan. "Saya minta ke pemerintah UKM bisa dibiayai dalam memperoleh SVLK," kata Soenoto.

Terkait transaksi ekspor furnitur, saat ini di ASEAN masih dijuarai Vietnam dan Cina. Nilai ekspor furnitur di Vietnam mencapai lima miliar dolar AS pada 2013. Sedangkan, nilai ekspor Indonesia masih setengahnya.

Padahal, Vietnam hanyalah negara kecil. "Target kita lima tahun ke depan sudah bisa menyalip Vietnam," kata Soenoto. Di dalam negeri, Pulau Jawa masih menjadi produsen furnitur terbesar. Untuk kelas dunia, masih dikuasai Eropa, AS, Amerika Latin, Jepang, dan Afrika. n ed: zaky al hamzah

Informasi dan berita lain selengkapnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement