RAZALI RITONGA
Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli tahun ini kebetulan bertepatan sehari setelah pengumuman pemenang kandidat pre siden dan wakil presiden hasil Pemilu 2014 oleh KPU. Faktor kebetulan itu semoga menjadi isyarat bahwa pemerintahan baru perlu fokus terhadap pembangunan generasi muda, terutama anak-anak, untuk masa depan bangsa yang lebih baik.
Harapan itu tidaklah mengada-ada mengingat secara kebetulan pula peme - rintahan baru berada pada fase awal era bonus demografi di Tanah Air yang dimulai pada 2012 dengan puncaknya pada 2030. Turunnya angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) dari 5,6 pada 1970-an menjadi 2,6 pada saat ini menyebabkan bergesernya komposisi penduduk dari usia muda (di bawah 15 tahun) ke usia produktif (15-64 tahun).
Pergeseran itu menyebabkan angka beban tanggungan kian mengecil, yakni dari 86,8 pada 1970 diperkirakan menjadi 48,9 pada 2014, dan 46,9 tahun 2030.
De ngan angka beban tanggungan di bawah 50, hal itu berarti bahwa untuk setiap dua orang usia produktif menanggung beban satu orang usia nonproduktif (usia kurang dari 15 tahun dan di atas 65 tahun). Secara teoritis, angka beban tanggungan yang kian mengecil akan semakin meningkatkan produktivitas nasional. Diperkirakan pada 2030, Indonesia memiliki kekuatan ekonomi terbesar ke 7 di dunia dengan 135 juta orang kelas menengah, 113 juta tenaga terlatih penggerak ekonomi, dan potensi pasar konsumsi sekitar 1,8 triliun dolar AS.
Atas dasar itu, pemerintahan baru berada pada periode yang sangat menentukan untuk mewujudkan skenario itu.
Bahkan, periode pemerintahan baru ini juga berpotensi menentukan perjalanan bangsa Indonesia hingga beberapa dekade setelah bonus demografi berlalu.
Pe ngalaman sejumlah negara yang telah mengalami bonus demografi menunjukkan bahwa setelah era bonus demografi berlalu akan memunculkan potensi bonus demografi kedua.
Bertambahnya penduduk lanjut usia yang berkualitas dan masih bisa diberdayakan, serta tabungan yang bisa diinves tasikan, dan konsumsi yang mening - kat pada gilirannya berpotensi mening - kat kan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, kontribusi pertumbuhan ekonomi pada bonus demografi kedua berpotensi lebih besar. Pengalaman negara maju yang te - lah mengalami bonus demografi pertama dan kedua selama 1970-2000 menunjuk - kan bahwa kontribusi pertumbuhan ekonomi pada bonus demografi pertama sebesar 0,34 persen dan kontribusi per- tumbuhan ekonomi pada bonus demo - grafi kedua sebesar 0,69 persen terhadap pertumbuhan ekonomi aktual sebesar 1,03 persen per tahun (Mason, 2005).
Maka, kehadiran bonus demografi yang hanya sekali terjadi dalam kehidup an suatu bangsa memiliki arti yang sangat penting bagi masa depan bangsa Indonesia. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa pemerintahan baru perlu meni- tikberatkan pada peningkatkan kualitas ge nerasi muda, terutama anak-anak di ba wah usia 15 tahun. Sebab, generasi ini akan menjadi tenaga penggerak pem - ba ngunan bangsa pada puncak era bonus demografi dan periode selanjutnya.
Meski diketahui, pemerintah selama ini telah berupaya untuk meningkatkan kualitas anak, akan tetapi hal itu dinilai belum cukup optimal. Secara faktual, ini tecermin dari peringkat indeks perkem bangan anak Indonesia yang ter tinggal jauh, terutama dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN.
Indonesia berdasarkan indeks itu berada di peringkat ke-82 dari 141 nega - ra pada 2012. Sementara Malaysia di peringkat ke-42, Thailand ke-49, Viet - nam ke-79, dan Filipina ke-80. Adapun penghitungan indeks perkembangan anak itu didasarkan pada tiga dimensi, yakni kesehatan, pendidikan, dan nutrisi (Save the Children, 2012).
Rendahnya kualitas anak di Tanah Air dari aspek nutrisi, misalnya, tecermin dari tingginya prevalensi anak yang bertubuh pendek (stunting). Tercatat, sekitar 37,2 persen anak balita menderita stuntingberdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013.
Boleh jadi, rendahnya anggaran yang dialokasikan pada pembangunan kesehatan merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya derajat kesehatan anak di Tanah Air. Adapun anggaran ke sehatan yang dialokasikan sekitar 2-2,5 persen per tahun dari APBN. Padahal, dalam UU No mor 36 Tahun 2009 diama natkan ang - garan kesehatan sebesar lima persen.
Bahkan, di negara-negara maju, anggaran kesehatannya telah mencapai se kitar 10- 15 persen dari produk domestik bruto.
Besarnya anggaran yang memadai, khususnya untuk kesehatan anak memang sangat diperlukan, terutama bagi anak-anak dari keluarga tak mampu.
Hal ini mengingat kebutuhan anak untuk tumbuh kembang sifatnya tidak bisa tertunda.
Maka, atas dasar itu, pemerintahan yang baru memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam menentukan na sib bangsa ini ke depan. Meski demikian, beban itu barangkali bisa diperingan jika ada sinergi tiga pilar sekaligus, yakni pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, sehingga kehadiran bonus demografi bisa dimanfaatkan bagi kemajuan bangsa di masa depan