Selasa 04 Nov 2014 12:00 WIB

Kartu Peredam Dampak Kenaikan Harga BBM

Red:

Pemerintah resmi merilis tiga kartu sakti bagi keluarga miskin, Senin (3/11). Ketiga kartu itu adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKS), serta satu kartu dengan cip seluler di dalamnya. Sasaran dari kartu tersebut adalah para keluarga kurang mampu serta siswa-siswi sekolah dan anak yang tak lulus sekolah.

Kita menyambut baik penerbitan kartu-kartu tersebut. Selain karena memang sudah menjadi program kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), pemerintah memang perlu memperluas jaminan sosial bagi masyarakat yang kurang mampu. Kartu ini adalah solusi jangka pendek ke arah itu.

Di luar tiga kartu sakti itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga sudah memiliki program jaminan sosial, kesehatan, dan pendidikan lainnya. Misalnya, seperti layanan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) atau layanan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar yang dirilis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan kartu sebanyak itu, publik tentu berharap pelayanannya tidak saling silang dan menjatuhkan kartu yang lainnya.

Waktu peluncuran kartu sakti ini bisa bermakna lain, yakni untuk melancarkan niat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Senin siang, Presiden Jokowi meluncurkan kartu saktinya di Kantor Pos Pusat. Senin sore, Wapres JK menegaskan, ketiga kartu itu adalah sebagai bagian kompensasi pemerintah terhadap warga miskin. JK menyebutnya sebagai "pengalihan subsidi dari sektor konsumtif (BBM) ke sektor produktif (kartu sakti)." JK juga menegaskan bahwa harga BBM akan dinaikkan pada November ini.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wapres JK pernah melakukan hal serupa pada 2005. Ketika itu, harga BBM bersubsidi dinaikkan dua kali dalam setahun. Bedanya adalah waktu itu SBY-JK menyebut nama kompensasinya dengan nama "bantuan langsung tunai" (BLT) dan diberikan kepada masyarakat setelah menaikkan harga BBM. Sementara, Jokowi-JK memberikan ketiga kartu yang sebenarnya mirip-mirip layanan BLT itu sebelum menaikkan harga BBM.

Di negara manapun, menaikkan harga BBM pasti akan memukul warganya. Di Indonesia, kelompok menengah ke bawah menjadi korban kenaikan harga BBM bersubsidi itu. Siapa saja mereka? Ada tiga profil kelompok ini, yakni pertama adalah 28,28 juta penduduk miskin berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik. Kedua adalah 4,5 juta penduduk prasejahtera yang terdaftar di BPJS dalam skema penerima bantuan iuran (PBI).

Dan terakhir adalah sekitar 10 juta jiwa penduduk nyaris miskin berdasarkan data BPS. Yang terakhir ini sangat rentan. Pasalnya, bila terjadi lonjakan ekonomi, ke-10 juta jiwa ini bisa langsung terjatuh menjadi rakyat miskin. Jumlah rakyat miskin pun bertambah 10 juta jiwa.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menegaskan bahwa kartu ini adalah program prioritas jangka pendek pemerintah. Oleh karena itu harus dipahami bahwa kebijakan pemerintah ini bukan solusi yang tepat untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Bukan di situ masalahnya dan lain pula jalan keluar utamanya. Kartu ini sekadar untuk meredam dampak sementara saja.

Kita bisa mengatakan, membagikan kartu sakti ini tidak akan mengurangi tekor anggaran dan tekor BBM bersubsidi sampai kapan pun. Masalah BBM adalah masalah pasokan, konsumsi, ketergantungan, dan ketegasan pemerintah. Sejauh ini, pemerintahan Jokowi-JK belum menunjukkan langkah komprehensif ke arah itu.

Pertama, masalah BBM bersubsidi adalah konsumsi publik yang sangat tinggi. Ini dipicu oleh mudahnya membeli kendaraan roda dua maupun roda empat. Kedua, tidak adanya ketegasan pemerintahan terdahulu untuk menomorsatukan transportasi publik.

Ketiga, masalah BBM bersubsidi adalah harganya yang terlalu renggang dengan BBM nonsubsidi. Itulah yang memicu pemerintah ingin menaikkan harga, misalkan, Premium sebesar Rp 3.000 per liter. Dengan begitu, jaraknya menjadi hanya Rp 500-Rp 1.000 dengan BBM nonsubsidi.

Kepada pemerintahan Jokowi-JK, masyarakat tentu berharap pemerintah tidak menebus resep yang sama seperti rezim SBY. Harus ada dobrakan kebijakan energi dan sosial untuk mengatasi BBM dan efek sosialnya. Kita ingin melihat Jokowi-JK serta Pertamina bisa menggenjot produksi minyak nasional sampai kembali di atas 1 juta liter barel per hari. Publik juga ingin melihat Pemerintah Indonesia membangun kilang untuk jangka panjang agar tidak tergantung pada kilang di Singapura.

Masyarakat juga ingin merasakan bahwa pemerintah berpihak kepada transportasi massal. Kebijakan BBM bisa dikatakan berhasil bila itu membuat kelompok menengah atas rela meninggalkan mobil/motornya di dalam garasi, lalu memilih naik transportasi umum. n

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement