Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah diplomatik setelah upaya pencurian ikan oleh KM Kway Fey 10078 dan penabrakan kapal tersebut oleh kapal Penjaga Pantai Cina (China Coast Guard) di perairan Natuna. Pemerintah sudah menyampaikan nota protes kepada Pemerintah Cina atas pelanggaran kedaulatan dan penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia di Laut Cina Selatan.
Namun, meskipun perlu dan sesuai tata pergaulan internasional, langkah diplomatik tersebut tidak memadai. Buktinya adalah baik sesudah insiden Natuna maupun untuk menanggapi nota protes, Pemerintah Cina menyatakan kawasan insiden adalah kawasan penangkapan ikan tradisional Cina. Mereka juga meminta Indonesia membebaskan para nelayan yang ditangkap.
Atas sikap Cina, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mempertimbangkan pengaduan kepada Pengadilan Internasional Hukum Laut (ITLOS). Sekali lagi, rencana tersebut perlu serta sejalan dengan hukum dan kebiasaan internasional, tetapi kecil kemungkinan akan efektif.
Kemungkinan itu terlihat dari proses sengketa Filipina dan Cina di Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag mengenai klaim Cina atas sembilan garis putus-putus (nine-dotted line/nine-dash line). Sejak awal, Cina menolak berpartisipasi dalam pengadilan yang juga dihadiri Pemerintah Indonesia dengan status sebagai pengamat.
Cina menyatakan, pengadilan tersebut tidak berwenang dan Filipina telah melanggar Deklarasi Tata Berperilaku di Laut Cina Selatan (DoC) serta meminta sengketa diselesaikan secara bilateral. Oleh karena Cina menolak proses peradilan, Cina sangat mungkin menolak hasilnya.
Apalagi, jika pengadilan mengabulkan permohonan Filipina untuk membatalkan klaim Cina dan menyatakannya bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Masalahnya, apakah yang dapat diperbuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap salah satu Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB?
Jangankan Indonesia, seruan diplomatik dan tekanan politik dari Amerika Serikat pun tidak digubris. Media massa sudah berkali-kali mewartakan keberatan AS, Jepang, dan para anggota ASEAN. Banyak pertemuan ASEAN digelar untuk melahirkan Tata Berperilaku (CoC) sebagai tindak lanjut dari DoC yang ditandatangani oleh 10 negara anggota ASEAN dan Cina pada 2002.
Namun, pembangunan pulau buatan di Spratly tetap berlanjut, termasuk untuk landas pacu, pelabuhan, dan gudang logistik. Cina juga berkali-kali mencoba melakukan survei dan eksplorasi di perairan Paracel meski dihalangi oleh kapal-kapal Vietnam. Klaim kedaulatannya atas 90 persen wilayah Laut Cina Selatan tidak berubah.
Klaim kedaulatan Cina semakin menguat karena pada 2013 Cina meleburkan empat lembaga negara (termasuk lembaga penegakan hukum perikanan) menjadi Badan Kelautan Negara. Pemerintah dan parlemen Cina kemudian membentuk unit pelaksana teknis bernama Penjaga Pantai Cina.
Namun, kapal-kapalnya berbobot "terlalu besar" untuk disebut penjaga pantai. Umumnya, melebihi 1.000 gross ton (gt). Bahkan, Cina telah membangun beberapa unit kapal dengan bobot melebihi 10 ribu gt yang setara dengan kapal perusak Amerika Serikat.
Di beberapa media, kapal-kapal tersebut disebut dipersenjatai senapan mesin dan kanon. Namun, penulis menduga, aset-aset kapal patroli lepas pantai yang berada di bawah Komando Penegakan Hukum Perikanan diserahkan kepada penjaga pantai.
Dalam The Military Balance pada 2012, kapal patroli tersebut berbobot lebih dari 1.500 gt dan dapat dipersenjatai torpedo dan rudal jarak pendek. Ukuran kapal, persenjataan, dan perilaku Penjaga Pantai Cina yang efektif mengintimidasi aparat negara tetangga menunjukkan mereka bukan sekadar penjaga pantai biasa.
Mereka adalah kekuatan maritim (haiyang qiangguo). Dengan klaim kedaulatan dan kekuatan maritim itulah, Cina berani mengeksploitasi sumber daya alam di Laut Cina Selatan. Mereka berani menangkap ikan dengan pukat harimau hingga ke perairan Natuna yang jaraknya melebihi 1.000 mil dari titik paling selatan daratan Cina.
Kekuatan maritim tersebut tidak mungkin dihadapi hanya dengan diplomasi, tekanan politik, dan tuntutan ke pengadilan internasional. Indonesia juga harus membangun kekuatan maritim yang kredibel. Dalam konteks ini, Indonesia dapat memilih strategi penangkalan (deterrence) dengan kekuatan TNI, Polri, dan komponen pertahanan lain yang memadai.
Kekuatan yang kredibel untuk mampu melakukan penangkalan tidak berarti harus sama dalam kuantitas dan kualitas alutsista (alat utama sistem senjata). Akan tetapi, kapal dan jet tempur perlu lebih sering berpatroli di kawasan sengketa, bersama dengan kapal-kapal Badan Keamanan Laut dan Kementerian Kelautan.
Pemerintah dan DPR juga perlu menganggarkan pembangunan dan pemeliharaan kekuatan maritim tersebut, seperti untuk mempercepat pengadaan kapal dan pesawat, menambah kemampuan personel yang bertugas di luar Jawa dan kawasan perbatasan, menambah radar dan memperkuat sistem komunikasi, serta meningkatkan dukungan logistik dan pemeliharaan atau perawatan alutsista. Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan memperkuat organisasi armada atau komando pertahanan di kawasan tengah, timur, dan utara Indonesia.
Indonesia juga tidak perlu takut dengan kemungkinan perang ekonomi. Aktivitas ekonomi bersifat timbal-balik. Mereka juga akan kehilangan laba dan potensi pertumbuhan ekonomi jika berani memboikot negara berukuran ekonomi terbesar di Asia Tenggara, apalagi ASEAN telah membuat perjanjian perdagangan bebas dengan Cina (CAFTA). Justru, perekonomian Cina juga akan terganggu jika berani memainkan kartu ekonomi untuk merebut wilayah dan sumber daya alam di Laut Cina Selatan.
Fahmi Alfansi P Pane
Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia