Kamis 18 Aug 2016 14:00 WIB

Proklamasi, Desain atau Takdir?

Red:

Sejarah mencatat bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia lahir di tengah-tengah peristiwa besar dunia, yaitu dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Di dalam negeri, proklamasi ditandai sekelumit peristiwa heroik, mulai dari peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 sampai Rapat Raksasa 19 September 1945.

Ada dua perspektif untuk menelaah proklamasi sebagai momentum bersejarah. Pertama, proklamasi lahir sebagai desain sejarah yang melibatkan banyak aktor. Kedua, proklamasi sebagai bleesing indisguisse, yaitu sejarah memang menghendakinya di luar kendali para aktor sejarah. Dalam terminologi lebih sederhana, kita menyebutnya takdir.

Dalam perspektif pertama, ciri menonjol adalah adanya proses yang direncanakan. Di sini, peran aktor sejarah sangat signifikan dalam mengendalikan jalannya peristiwa sejarah. Proklamasi RI tidak bisa dilepaskan dari dikeluarkannya "Janji Kemerdekaan" pada 9 September 1944, yang dinyatakan PM Jepang Kuniaki Koiso.

Implementasi janji Koiso ini ditindaklanjuti dengan membentuk BPUPKI, badan yang bertugas untuk menyelidiki kesiapan bangsa Indonesia dalam menyongsong kemerdekaan, dengan membentuk alat-alat kelengkapan negara sebagai syarat berdirinya negara merdeka.

Aktor sejarah yang kemudian dikenal sebagai founding fathers ini merancang bentuk negara, filsafat negara Indonesia merdeka, merumuskan dasar negara, bentuk pemerintahan, dan  sistem pemerintahan yang akan menjadi penyangga negara merdeka nantinya.

Desain sejarah oleh aktor sejarah tidak hanya berupa keterlibatan dalam setiap proses aktivitas politik melalui BPUPKI kemudian berganti menjadi PPKI, tetapi juga dengan cara kontestasi gagasan. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tentang rumusan dasar negara yang disampaikan  Mohammad Yamin, Dr Soepomo, dan Ir Sukarno adalah proses kontestasi gagasan tentang filosofi dasar negara Indonesia merdeka.

Draf pernyataan Indonesia merdeka dan rencana proklamasi juga menjadi bagian dari desain sejarah para aktor. Pada 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang disampaikan oleh ketua panitianya sendiri, Ir Sukarno. Laporan tersebut membahas rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok, di antaranya pernyataan Indonesia Merdeka (proklamasi).

Konsep proklamasi kemerdekaan Negara Indonesia rencananya disusun dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", yang sudah disepakati pada 22 Juni 1945. Jika skenario ini berjalan, yang akan dibacakan sebagai teks proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah rumusan dalam Pembukaan UUD 1945.

Pembicaraan di sidang BPUPKI pun merencanakan waktu proklamasi sekitar 24 Agustus 1945. Jika skenario ini berjalan pula, tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari kemerdekaan atau setidaknya, bukan 17 Agustus sebagaimana kita peringati setiap tahunnya.

Dan, secara politis, Jepang benar-benar layak dinobatkan sebagai 'saudara tua' karena telah membantu proses kemerdekaan Indonesia, melalui lembaga yang dibentuknya, yaitu BPUPKI dan PPKI. Sampai di sini, episode sejarah kelihatannya berjalan sesuai rencana.

Namun, sejarah kemudian mencatat, draf proklamasi bukanlah rumusan yang disepakati pada 14 Juli 1945, yang sebagian besar diambil dari rumusan Piagam Jakarta. Proklamasi tidaklah dibacakan pada 24 Agustus 1945. Lebih penting lagi, produk proklamasi tidaklah dihasilkan melalui desain lembaga bentukan Jepang.

Fakta inilah yang menghadapkan banyak sejarawan pada perspektif lain bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah blessing indisguisse, ada kekuatan besar di luar perencanaan aktor-aktor sejarah kala itu yang mengubah skenario para aktor.

Ciri yang menonjol dalam perspektif ini ialah adanya faktor eksternal, yang sangat memengaruhi proses politik domestik. Kekalahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, mengubah secara dramatis skenario proklamasi yang telah dirancang.

Menyerahnya Jepang justru menjadi blessing, berkah bagi Indonesia untuk mempercepat proses proklamasi di luar skenario formal. Faktor ini menjadi energi positif bagi aktor sejarah kaum muda untuk membuat skenario berbeda.

Isu yang dibawa kaum muda, proklamasi harus di luar kendali Jepang. Itu berarti, segala produk terkait proklamasi yang dihasilkan melalui BPUPKI dan PPKI harus didesain ulang. Cara yang ditempuh adalah menjauhkan tokoh-tokoh berpengaruh, Sukarno-Hatta dari pengaruh Jepang.

Setelah blessing indisguisse dengan menyerahnya Jepang, fase berikutnya justru semakin epik dalam sejarah detik-detik proklamasi kita. Hari-hari sekitar 17 Agustus adalah penuh menegangkan. Skenario begitu cepat berubah.

Momen krusial yang membuat skenario awal berubah adalah saat aktor sejarah kaum muda berinisiatif membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 dini hari. Momen ini diambil tentu bukan tanpa perhitungan, karena pada tanggal itulah sidang PPKI mengagendakan proses kemerdekaan Indonesia.

Akibat aksi kaum muda, agenda sidang urung dilaksanakan. Jika saja kaum muda tidak mengambil langkah ini, kemungkinan agenda PPKI membahas skenario proklamasi sesuai rencana semula tentu akan tetap berjalan.

Meski sempat diwarnai ketegangan, episode Rengasdengklok berakhir dengan kesepakatan mempercepat proklamasi sesampainya di Jakarta. Kesepakatan awal, para tokoh berkumpul di Hotel Des Indes (Hotel Indonesia di sekitar Harmoni).

Namun, lagi-lagi, faktor blessing indisguisse mengubah rencana semula. Kawasan sekitar hotel tidak memungkinkan untuk mengadakan pertemuan karena dijaga ketat tentara Jepang.

Kemudian, mereka sepakat memilih rumah Laksamana Maeda di sekitar Jalan Imam Bonjol sekarang. Maeda, perwira tinggi AL Jepang yang bersimpati terhadap perjuangan  bangsa Indonesia. Rumah Maeda dipilih karena dianggap aman dan berada di luar yurisdiksi AD Jepang. Pertemuan ini agendanya tunggal, penyusunan naskah proklamasi.

Lagi-lagi, ini di luar skenario semula bahwa rumusan proklamasi diambil dari naskah Piagam Jakarta. Peran PPKI diambil alih oleh inisiatif kaum muda yang menggesa proklamasi di luar jadwal semestinya, dan di luar kesepakatan "gentlement agreement" anggota BPUPKI.

Rangkaian peristiwa sekitar proklamasi itu menggambarkan kepada kita bahwa peristiwa sejarah, tidaklah semata-mata ditentukan oleh faktor determinan tertentu. Tidak ada faktor tunggal dalam sebuah peristiwa sejarah sepenting proklamasi.

Meski teks proklamasi itu cukup singkat karena hanya memuat konten "Pernyataan kemerdekaan" dan "Pemindahan lekuasaan", dapat diakui adanya fakta bahwa kemerdekaan Indonesia adalah "hasil perjuangan bangsa Indonesia" dan "Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa", yang keduanya termaktub dalam draf awal proklamasi sekaligus naskah Pembukaan UUD 1945. 

Agus Widiarto

Direktur Center for Historical and Policy Studies (CHIPS)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement