Secara teoretis, fungsi pemerintahan, apa pun sistem negaranya adalah the world of solution, atau dunia penyelesai masalah. Menjaga agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan paling asasi berupa penyediaan makanan yang cukup, adalah tugas elementer negara, para pejabatnya dan tentu tanggung jawab bersama kalangan nonnegara, di mana pun ia berada.
Ini bukan hanya tanggung jawab Presiden Jokowi dan para menterinya, melainkan juga oleh kalangan pimpinan organisasi sosial keagamaan, organisasi nirlaba, organisasi para profesional, kalangan swasta, dan para filantropis, yaitu sekelompok orang kaya yang senang berderma. Jadi, setiap pejabat dan warga negara punya tanggung jawab sosial.
Keadaan multikrisis bidang sosial dalam bentuknya yang majemuk dan bertubi-tubi, misalnya kemiskinan di perdesaan dan kemiskinan di perkotaan, bencana alam, bencana sosial, terorisme, problem anak jalanan, ketelantaran, penyakit sosial masyarakat berupa pelacuran, terpaan pornografi, TKI bermasalah, serta penyakit sosial lainnya. Masalah sosial harus diikuti oleh bantuan sosial juga dengan pendekatan sosial.
Segala upaya pemerintah telah dilakukan, dari presiden ke presiden, dari menteri-menteri terdahulu sampai kabinet yang sekarang, dari sejumlah triliunan anggaran setiap tahun dalam APBN dan APBD. Dari Rencana Pembangunan tahun ke satu sampai tahun berikutnya, sampai kini.
Upaya teknokratis ini juga termasuk yang telah dilakukan Kementerian Sosial yang memang oleh presiden ditugaskan untuk mengatasi segala masalah sosial yang ada.
Sejak mendapat amanat dari Presiden memimpin Kemsos, dengan berbekal pengalamannya di bidang legislasi semasa menjadi anggota DPR, berbekal mengurusi orang-orang kecil di kampung dan desa, kegesitan serta kegigihannya, Khofifah Indar Parawansa memperkenalkan apa yang disebut sebagai pendekatan sosial, atau social approach bukan military atau economic approach semata.
Yang dimaksud pendekatan sosial di sini ialah pendekatan multiaksi yang menyegerakan bantuan standar minimal dasar bagi orang miskin atau orang yang memiliki masalah sosial, yang dibarengi dengan sentuhan sosial, bahkan personal approach. Dengan turun ke bawah, dengan jalan menggali dan menyelesaikan masalah langsung di lapangan, secara personal dan pendekatan psikologis.
Telah lama kita menganggap bantuan-bantuan itu sudah sukses dengan jalan memberi uang. Sebagai contoh, memang hampir 11 dari 34 kementerian dan sejumlah lembaga negara mengucurkan bantuan sosial, bentuknya macam-macam, bidang infrastruktur perumahan bagi orang miskin, subsidi dana pendidikan, BPJS kesehatan ataupun bantuan sosial lain yang diberikan oleh pemerintah daerah. Jumlahnya pun tidak sedikit, secara nasional di luar pemda, menurut data ada sekitar Rp 90 triliun bantuan APBN untuk masyarakat dikucurkan kepada mereka yang berhak. Misalnya, di Kemensos ada subsidi beras bagi kaum miskin, atau juga bantuan sosial uang bagi para ibu miskin yang dalam data Kemensos tahun 2015, berjumlah 2,7 juta keluarga dan tahun 2016 ini mencapai 6 juta keluarga.
Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) ini bahkan ada sejak tahun 2007 walau jumlahnya masih kecil, tiga ratusan ribu keluarga. Kemensos menganggarkan beberapa bantuan sosial dan pelatihan bagi eks wanita tunasusila (WTS), membantu mereka yang terdampak bencana alam dan bencana sosial.
Namun, rupanya, bagi Mensos Khofifah, bantuan sosial dan bantuan keuangan saja tidaklah cukup. "Harus ada sentuhan sosial, harus dengan pendekatan personal, harus dikunjungi, harus disentuh, harus diterima keluh kesahnya. Mereka, orang orang yang dhuafa dan mengalami problema sosial bahkan harus dihibur, walaupun dengan lagu atau lantunan shalawat dan zikir bersama".
Dalam setiap pengucuran dana dan bantuan sosial Menteri Khofifah menyempatkan bertemu dengan mereka yang dibantu, sekaligus mendalami apa saja keluhan mereka. Memastikan apakah jumlahnya utuh. Itu salah satu ciri pendekatan sosial. Menurut catatan, selama 600 hari Mensos menjabat, 70 persen digunakan untuk blusukan. Mendekati orang miskin dengan sentuhan.
Dalam sejarah Islam, pendekatan sosial ini jelas contohnya, sudah terbukti manjur, baik yang telah dicontohkan oleh Rasul Muhammad SAW maupun oleh para sahabatnya, terutama Umar bin Khattab. Dalam sebuah pidato, Khalifah Umar bin Khattab mengatakan, "Siapa pun yang berani mengambil amanat sebagai pemimpin negeri, maka ia harus berani makan paling akhir setelah rakyatnya kenyang, dan kuat menahan diri untuk tidak berpesta pora, sebelum rakyatnya berbahagia".
Bagi Umar, kondisi yang paling ia takuti ialah apabila ia melihat, mendengar ada rakyat kesulitan mencari kebutuhan pokok. Namun, kisah Umar yang paling mengesankan ialah ketika ia mengantarkan sendiri, memanggul sendiri bantuan sosial yang diberikan bagi ibu-ibu miskin pada masa itu.
Untuk kepentingan itulah kiranya, Khalifah Umar Bin Khattab saat menjadi pimpinan pemerintahan melakukan pendekatan sosial, sudi meluangkan sebagian waktunya ke desa-desa miskin untuk mengetahui kondisi kaum papa dan janda miskin, untuk kemudian dicarikan solusinya.
Dalam konteks teori negara modern, negara modern sekarang sangat mengutamakan pendekatan sosial ini, walau mereka masih gagal melakukannya. Karena defisit orang orang atau tokoh yang menjadi idola pemecahan masalah-masalah sosial.
Menurut teori negara modern, jaminan sosial, social security budget bahkan menjadi andalan mereka mengatasi problema ekonomi dari kesulitan untuk menyelesaikan problem di negara maju. Jadi pendekatan sosial ini juga sedang laku keras di negara maju.
Rupanya, moralitas kenegaraannya di dunia pemerintahan modern sebagian telah mengilhami munculnya teori-teori pembangunan dengan menggunakan pendekatan sosial.
Menurut Khofifah Indar Parawansa, "Kementerian Sosial tidak pernah mengandalkan jumlah bantuan uang ini dari segi angkanya. Bukan pula dari segi teknis penyelenggaraan, tetapi selalu bertanya sudah efektif belum bantuan bantuan itu. Karena kita melihat orang orang miskin itu juga miskin keyakinan diri dan kebanyakan tersingkir dari hebatnya laporan hasil perkembangan ekonomi dan pembangunan, mereka harus didekati secara pribadi dan secara sosial. Jadi masalah sosial negara dan bangsa ini menjadi inti dari tujuan pembangunan".
Dalam konteks teori pembangunan, terutama di negara-negara Asia Tenggara adalah sebuah keniscayaan untuk memasukkan pendekatan sosial dalam seluruh rancangan dan praktik pembangunan. Sebab, tidak ada satu pun tujuan pembangunan yang boleh menafikkan unsur sosial.
Pertanyaannya, bisakah berbagai masalah sosial itu diatasi dengan pendekatan sosial, atau sejauh manakah persoalan terorisme, misalnya, dan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, atau pelacuran dapat diatasi dengan pendekatan sosial? Sejauh mana efektivitasnya? Kita tunggu saja. Namun kita yakini, perpaduan bantuan sosial dan pemberian bantuan uang atau barang akan lebih efektif kalau ditambah dengan sentuhan sosial. Wallahu a'lam.
M Mas'ud Said
Staf Khusus Menteri Sosial