YOGYAKARTA — Upaya merevisi Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dinilai cenderung mengedepankan kepentingan pragmatis partai politik (parpol) peraih suara di parlemen. Revisi UU MD3 itu dinilai masih jauh dari upaya menguatkan dan memperbaiki mekanisme kerja lembaga tersebut.
"Kalau upaya revisi itu ternyata untuk kepentingan pragmatis parpol semata maka bisa jadi undang-undang (UU) tersebut pada masa mendatang selalu akan direvisi sesuai dengan fragmentasi politik yang berkembang," kata pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Sri Hastuti Puspitasari di Yogyakarta, akhir pekan lalu.
Semestinya, menurut dia, rencana merevisi UU tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penilaian serta melihat implikasi jangka panjangnya. "Seharusnya ada assessment dan bukan hanya berorientasi pada kebutuhan saat ini saja," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa UU yang mengatur MPR, DPR, DPD, dan DPRD tersebut sudah pernah direvisi pada masa reformasi 1999, yang hasilnya partai pemenang tidak secara otomatis menjadi ketua DPR. "Karena parpol pemenang pada waktu itu kalah dalam manufer politik sehingga tidak mendapatkan tempat sebagai ketua DPR," katanya.
Kemudian pada Pemilu 2009—Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu—UU tersebut kembali direvisi dengan tujuan mengembalikan kewenangan partai pemenang pemilu menempati posisi ketua DPR. "Oleh sebab itu, jangan disalahkan apabila PDI Perjuangan tidak menyetujui revisi tersebut karena sebelumnya telah menghormati dan diberikan contoh saat Partai Demokrat," ujarnya.
Menurut dia, UU MD3 patut dipertahankan sebab partai yang dimenangkan oleh rakyat dalam pemilu layak mendapatkan tempat sebagai pimpinan tertinggi di DPR.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Pahrayangan Asep Warlan menilai pengesahan UU MD3 terkesan dipaksakan. Menurutnya, banyak muatan yang dianggap justru bertolak belakang dengan semangat untuk memperbaiki parlemen.
Asep mengatakan, banyak keanehan dalam revisi UU MD3 yang disahkan satu hari sebelum pemungutan suara pemilihan presiden tersebut. Karena itu, UU MD3 dinilai layak untuk diujimaterikan. "Satu-satunya jalan adalah dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," katanya saat dihubungi Republika, Ahad (13/7).
Dia menjelaskan, salah satu poin dari hasil revisi yang terlihat aneh, yaitu terkait dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dalam UU itu disebutkan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap anggota dewan harus memperoleh izin melalui MKD.
"Kalau mereka (dewan) tidak mengizinkan apa yang terjadi? Ini sangat disayangkan dan terkesan menghalang-halangi," ujar Asep. Tetapi kalau sekadar pemberitahuan, dia menambahkan, itu tidak masalah.
Kemudian, dia mengungkapkan, terkait dengan pemilihan ketua DPR yang harus dipilih oleh anggota dewan, juga terkesan sangat kental dengan nuansa politis. Menurutnya, partai pemenang pemilu memang sudah seharusnya menjadi ketua DPR. Hal itu merupakan bonus dari mayoritas suara masyarakat dalam menyalurkan aspirasi. "Itu sangat logis," katanya. rep:c30 ed: muhammad fakhruddin