Senin 14 Jul 2014 12:00 WIB

Dewasa Sikapi Quick Count

Red:

"Kita mulai menggunakan quick count pada Pemilu 2004. Kita belajar dari Filipina, lembaga pemilu di sana dikendalikan pemerintah. Maka, quick count menjadi ukuran untuk melihat hasil lembaga pemilu di sana sudah fair atau manipulatif."

Itulah kicauan dari pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid/Gus Sholah (10/7) saat mengomentari polemik penghitungan lembaga survei Pilpres 2014 yang bertentangan. Oleh karena itu, polemik quick count atau hitung cepat yang sangat ditentukan kredibilitas oleh orang-orang di balik lembaga survei dan tingkat independensi dari lembaga survei itu tidak harus "mengorbankan" metode ilmiah itu sebagai cara yang harus diabaikan.

Pandangan Gus Sholah itu dibenarkan Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) Jakarta M Aminuddin bahwa quick count itu memiliki nilai strategis yang mampu memandu independensi lembaga pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), sehingga mendorong pilpres yang jujur dan adil (jurdil). Quick count bisa menilai apakah lembaga pemilu fair atau tidak. "Kalau melihat hasil quick count pilpres antarlembaga survei atau antara lembaga survei dengan lembaga pemilu (KPU) itu memiliki selisih suara satu sampai dua persen, metodenya masih benar," katanya.

Namun, kata praktisi survei yang alumnus FISIP Unair Surabaya itu, kalau selisih suara antarlembaga survei atau antara lembaga survei dengan lembaga pemilu (KPU) itu mencapai empat sampai lima persen atau bahkan di atas lima persen, metode salah satunya pihak patut dipertanyakan. "Selisih suara yang tipis itu mungkin terjadi karena perbedaan sampel atau pengambilan sampel dari penumpukan basis calon tertentu yang berbeda," kata mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI (2005) dan Tenaga Ahli DPR RI (2008-2009) itu.

Menurut dia, bila selisih tipis, terjadinya perbedaan hasil itu sangat mungkin, seperti yang sudah terbukti dalam Pemilukada Jatim 2008, Pemilukada Palembang, dan Pemilukada Bali. "Kalau selisih besar, tapi hasilnya berbeda, ada yang manipulatif (tidak independen)," katanya.

Terkait verifikasi lembaga survei, Aminuddin menilai, hal itu tidak mudah kalau verifikasi dilakukan dari awal, tapi bisa saja dicek pada data yang masuk pada komputer dari lembaga survei yang dicurigai.

"Soal sumber dana dari lembaga survei mungkin ada kaitannya dengan kandidat maupun parpol tertentu karena biaya survei memang tidak murah, hingga Rp 2 miliar ke atas, tapi lembaga survei yang kredibel tidak akan bertaruh demi uang," katanya.

Senada dengan itu, pengamat politik yang juga Dosen Ilmu Politik FISIP Unair Haryadi MA menuturkan, verifikasi lembaga survei itu mudah, yakni dengan melihat hasil survei, lalu disatukan dengan besaran margin error, sehingga bisa dilihat rentangan hasil sebenarnya untuk survei itu.

Oleh karena itu, isu adanya pengondisian untuk lembaga-lembaga survei yang kredibel adalah sangat gegabah jika dikaitkan dengan sumber pendanaan. "Tidak ada korelasi positif yang jelas dan tuntas bahwa sumber pendanaan menentukan hasil hitung cepat," katanya.

Tingkat kredibilitas lembaga survey, antara lain, ditunjukkan Radio Republik Indonesia (RRI) yang melakukan kerja sama dengan LKBN Antara, bahkan hasil quick count RRI-Antara pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 paling mendekati rekapitulasi KPU.

Senada dengan itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Mutawakkil Alallah mengimbau masyarakat dan elite politik untuk bersikap dewasa menyikapi hasil hitung cepat dan menunggu hasil keputusan resmi KPU, terutama kedua kandidat, untuk bersikap ksatria, teposliro, berlapang dada, dan bersabar untuk menunggu hasil resmi pada 22 Juli 2014 meski sejumlah lembaga survei sudah merilis hasil surveinya. antara ed:muhammad fakhrudin

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement