JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menargetkan waktu 14 hari kerja untuk memutus perkara hasil sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Gugatan atas hasil pilpres diajukan dalam jangka waktu tiga hari selepas pengumuman hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sekjen MK Jenedjri M Gaffar mengatakan, berdasarkan Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2014, pengajuan permohonan sengketa pilpres paling lambat 3x24 jam setelah penetapan KPU. Artinya, jika pengumuman keluar pada 22 Juli maka batas akhir ajukan gugatan terakhir 25 Juli. "Setelah itu, MK melakukan pemeriksaan kelengkapan berkas dari permohonan yang masuk tersebut," kata Jenedjri di Gedung MK, Rabu (16/7).
Kalau dalam pemeriksaan itu berkas dinyatakan belum lengkap, pemohon memperoleh akta permohonan belum lengkap dan wajib melengkapinya 1x24 jam. Namun, jika lengkap, pemohon menunggu tiga hari kerja untuk penentuan jadwal sidang pendahuluan.
Foto:Aditya Pradana Putra/Republika
Penyelesaian Perkara Pilpres
Jenedjri mengatakan, sidang perdana rencananya berlangsung pada 6 Agustus mendatang karena terbentur cuti bersama Lebaran. Sedangkan, jatuh tempo putusan sidang pada 21 Agustus.
"Meski proses pendaftaran, registrasi hingga persidangan perdana perkara PHPU Pilpres yang mepet dengan Hari Raya Idul Fitri tidak masalah, saya siap," ujar Jenedjri di gedung MK, Rabu (16/7).
Itulah alasannya ia juga mendorong KPU untuk menepati jadwal penetapan hasil pilpres, yakni 22 Juli. Sebab, jika agendanya molor, memundurkan semua tahapan pilpres itu. "Simulasi ini kita berangkat dari asumsi, pengumuman KPU seandainya tanggal 23 atau 24 Juli, tentu berubah pula jadwalnya," katanya.
MK menggelar pertemuan koordinasi bersama KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta tim hukum para kandidat capres-cawapres, kemarin. Dalam pertemuan tersebut, digelar simulasi penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pasca-KPU menetapkan perolehan suara para kandidat capres-cawapres pada 22 Juli mendatang.
Di sela-sela pertemuan, MK dihujani pertanyaan tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Mereka mempersoalkan beberapa klausul dalam Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2014 yang menjadi dasar penanganan PHPU presiden dan wakil presiden.
Di antaranya, menyangkut bisa tidaknya hasil pemindaian C1 sebagai alat bukti. Mengacu pada peradilan PHPU legeslatif, menurut mereka, C1 tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Janedri juga menyerahkan pertimbangan kepada majelis hakim. "C1 scan ini diserahkan kepada hakim, saya kira forum kali ini hanya pertemuan koordinasi," ujar Janedri.
Komisioner KPU Ida Budhiati sepakat bahwa soal formulir C1 sebagai alat bukti masih bisa diperdebatkan. Ida menggambarkan, kedudukan formulir C1 bersifat dinamis dengan kemungkinan terjadi perubahan kalkulasi suara di tiap jenjang, dari mulai tingkat kelurahan hingga hasil pemindaian yang diunggah di laman KPU. "Saya rasa pertimbangan ini juga akan dikembalikan pada majelis hakim," kata Ida. rep:andi muhammad ikhbal/c54 ed:fitriyan zamzami