Kenaikan gaji yang sama MK dan MA itu dinilai tidak masuk akal.
JAKARTA - Harapan peningkatan kesejahteraan hakim konstitusi dan hakim agung, menurut pengamat, belum tentu bisa meningkatkan kualitas hakim berikut putusannya. Komentar mereka berkaitan dengan penandatan ganan Peraturan Pemerintah (PP) No 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam aturan itu, gaji Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) naik menjadi Rp 121 juta per bulan. Sementara, gaji anggota hakim agung sebanyak Rp 72 juta per bulan. Gaji wakil ketua MK, Rp 77 juta per bulan dan anggota hakim konstitusi Rp 72 juta per bulan.
"Hemat saya perlu dipertimbangkan lagi karena bagaimanapun juga tunjangan naik belum tentu hakim berkua litas serta apakah benar akan mening katkan kualitas putusan, " ujar pengamat hukum dan tata negara, Asep Yusuf Wlan, kepada Republika, Sabtu (12/7).
Asep melihat di balik PP itu ada pendekatan untuk menjadikan pengadilan yang independen, berkomitmen, integritas moral baik, dan kualitas putusan baik dengan kesejahteraan yang baik.
Caranya, kata Asep, adalah dengan meningkatkan kesejahteraan. Hal itu diharapkan akan berefek kepada kual itas putusan. Namun, kenaikan gaji bagi hakim konstitusi dan hakim agung belum tentu bisa meningkatkan kualitas hakim dalam membuat putusan bagus terhadap satu perkara.
Sudah parah
Ia menuturkan, justru dengan kenaikan gaji hakim agung dan konstitusi akan mengundang kecemburuan pejabat negara lain serta di tingkat bawah."Jangan ada kesenjangan pejabat negara dengan yang lainnya. Hakim tinggi sementara yang lain kecil, " katanya.
Menurut dia, yang penting dilakukan dan diperhatikan adalah kenaikan gaji hakim di tingkat bawah. Sebab, tingkat suap-menyuap di tingkat bawah sudah sangat parah. "Hakim negeri di tingkat pertama PN, PTUN yang mesti menjadi perhatian, " katanya.
Menurutnya, dengan kenaikan gaji hakim di tingkat bawah akan memberikan efek tegas dalam memutuskan perkara karena mempunyai tunjangan yang baik. "Politik anggaran di hakim tingkat bawah bukan di atas, MK dan MA, " katanya.
Tidak masuk akal
Sementara itu, pengamat tata negara, Margarito Kamis, menilai, kenaikan gaji yang sama bagi MK dan MA tidak masuk akal. Sebab, bobot kerja (hakim) MK lebih sedikit dibandingkan dengan bobot kerja di MA.
"Di MK dinaikkan iya, rasanya tidak cukup masuk akal karena bobot kerja (MK) lebih ringan daripada bobot kerja MA, " ujar pengamat tata negara, Margarito Kamis, kepada Republika, Sabtu (12/7).Ia menuturkan, menyetarakan gaji kedua hakim pada lembaga yang ber beda tidak masuk akal. Karena, peker jaan antara MK dan MA itu berbeda."Kedudukan kedua lembaga sama. Dari sisi bobot, berbeda antara MA dan MK, "ungkapnya.
Ia menuturkan, dengan kenaikan gaji hakim agung maka jangan sampai terjadi lagi tindakan suap dan memeras yang dilakukan hakim. "Tidak ada alasan lagi untuk mereka malas, membuat putusan kontroversi, " ungkapnya. rep:c75 ed:nina chairani