Senin 11 Aug 2014 13:00 WIB

Setiap Bayi Berhak untuk Hidup

Red:

JAKARTA - Setiap bayi berhak untuk hidup. Dia bersifat suci dan terbebas dari dosa sehingga tidak memahami akan aksi pemerkosaan yang mungkin dialami ibu yang mengandungnya. "Jadi saya kira akan berdosa jika tiba-tiba digugurkan," kata Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdhatul Ulama (NU) Anggia Ermarini kepada Republika, Ahad (10/8).

Menurut Anggia, penyebab kehamilan tidak menjadi alasan utama dilakukannya aborsi. Terlebih lagi bila kehamilan itu normal. Apresiasi terhadap eksistensi individu menurutnya harus lebih diutamakan. Kalau kehamilan mengancam kelangsungan hidup si ibu, maka akan berbeda. "Dalam hal ini, aborsi mungkin bisa menjadi pilihan," imbuhnya.

Namun, jika kehamilan bisa diteruskan sementara si ibu tidak mengalami gangguan kesehatan akibat kehamilan, maka aborsi menurutnya bukan sebuah pilihan. Sikap bijak menurutnya adalah meneruskan kehamilan itu hingga akhirnya melahirkan dengan baik.

Anggia menilai, peratuan pemerintah yang mengatur kesehatan reproduksi tidak didasarkan argumentasi yang kuat. Peraturan ini memunculkan kontroversi sehingga sejumlah pihak menolak. "Di sini ada penghilangan hak untuk hidup," ujarnya.

Pihaknya mengimbau agar dilakukan kajian dari berbagai tradisi keilmuan. Pertama dalam tinjauan medis. Kedua tentunya harus dilakukan dalam tinjauan tradisi keagamaan.

Madzahibul arba'ah menjadi patokan tersendiri dalam memandang persoalan aborsi. Kajian fikih, menurut Anggia, dapat menjadi alternatif memandang aborsi ini. NU mengharapkan pemerintah tidak hanya berdasar pada ilmu kedokteran dalam mengambil kebijakan terkait aborsi. "Islam memiliki pandangan tersendiri berdasarkan ijtihad ulama," imbuhnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan aborsi diharamkan dalam Islam. Ketua MUI Bidang Pemberdayaan Perempuan Tutty Alawiyah menjelaskan, apa pun alasannya, membunuh bayi dalam kandungan secara sengaja jelas tak diperbolehkan.

Menurut Tutty, tindakan aborsi tak seharusnya dilegalkan, karena bersifat pengecualian (exception). "Di sini bukan negara sekuler yang bisa melegalkan segalanya," ujar Tutty kepada Republika, (10/8). Lebih lanjut ia mengatakan, untuk menentukan seseorang boleh melakukan aborsi atau tidak, harus mendapat rekomendasi dari dokter.

Tutty khawatir banyak orang tak bertanggung jawab akan memanfaatkan peraturan pemerintah yang melegalkan aborsi. Tutty mengaku, hingga saat ini belum ada pembicaraan resmi di kalangan internal MUI untuk membahas masalah PP Aborsi.

Tutty mengharapkan, PP soal aborsi bisa dibahas dalam rapat kerja nasional di Jakarta pada 13-14 Agustus mendatang. Dalam rakernas itu recananya akan hadir beberapa perwakilan organisasi massa Islam. "Saya berharap dapat mengangkat permasalahan ini saat ormas berkumpul, agar dapat dibicarakan lebih lanjut," kata Tutty.

Menanggapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 yang memperbolehkan aborsi bagi korban pemerkosaan, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) menganggap, apa pun alasannya, aborsi tetaplah merupakan tindakan pemusnahan kehidupan. "Saya memahami bahwa Tuhan adalah pemelihara hidup. Secara Kristen, hal itu tampak pada konsentrasi Yesus yang memulihkan, menyembuhkan,dan merawat kehidupan," ujar Sekretaris Eksekutif Departemen Perempuan dan Anak PGI Krise Anki Rotti-Gosal.

Ia menambahkan, janin dalam rahim merupakan suatu kehidupan. Menurut Krise, mungkin sebenarnya pemerintah ingin menyelamatkan masa depan korban dengan mengorbankan janin, namun janin itu juga termasuk "korban". "Saya pun jadi bertanya, dari mana manusia mendapat kuasa untuk menetapkan mana yang harus diselamatkan dan mana yang perlu dibunuh?" katanya.

rep:erdy nasrul/c91 ed: andri saubani

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement