Pernahkah Anda melihat ikan paus yang mati kaku terdampar di sebuah pantai? Ya, itulah yang dialami oleh bocah Suriah, tiga tahun. Aylan Kurdi namanya. Ia tewas terdampar di pantai dekat Bodrum, sebuah resor terkenal di Turki. Ketika ditemukan polisi, jasadnya sudah kaku. Posisinya tengkurap. Wajahnya mencium pasir dan ombak pantai. Ia mengenakan kaos merah, bercelana pendek biru, dan bersepatu. Polisi lalu membopong bocah itu dan membawanya ke rumah sakit.
Aylan tewas bersama kakaknya, Ghalib Kurdi, lima tahun, dan ibu mereka. Tiga orang ini di antara enam orang—lima bocah dan seorang perempuan—yang tewas dari 23 pengungsi yang menumpang perahu kecil dalam perjalanan dari sebuah pantai di Turki menuju Pulau Kos di Yunani. Namun, nahas, perahu mereka tenggelam pada Selasa malam lalu (1/9/2005). Enam orang tewas dan 17 penumpang lain selamat, termasuk ayah Aylan, Abdullah Kurdi.
Ketika kedua foto Aylan—satu foto memperlihatkan ketika ia terdampar di pantai dan satu lagi saat ia dibopong polisi pantai—diunggah ke media sosial pada Kamis (3/9/2015) lalu, masyarakat internasional pun terkejut. Hashtag "KiyiyaVuranInsanlik" atau "kemanusiaan yang terdampar" menjadi trending topic di Twitter. Hanya dalam beberapa jam, kedua foto itu sudah mendunia, di-retweet ribuan kali.
Nasib nahas yang menimpa Aylan, kakak, dan ibunya jelas menggambarkan tragedi kemanusiaan paling mengerikan tentang nasib jutaan pengungsi dari negara-negara Timur Tengah. Perang dan konflik adalah penyebabnya. Keluarga Aylan—Abdullah Kurdi (ayah), ibu, dan Ghalib Kurdi (kakak)—misalnya. Mereka berasal dari Kota Kobani, utara Suriah. Kota ini dekat dengan perbatasan Turki, yang menjadi lokasi pertempuran antara kelompok yang menamakan diri ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan suku Kurdi sejak beberapa bulan lalu.
Sejak muncul krisis di Suriah dan Irak—dari perebutan kekuasaan antara rezim Presiden Bashar Assad dan oposisi, munculnya kelompok teroris seperti Alqaida dan Jabhatu an Nasrah, keberhasilan ISIS menguasai sebagian wilayah di dua negara itu, hingga konflik Syiah-Suni—kedua negara itu sudah bagaikan neraka bagi banyak warga. Sekitar 4 juta warga Suriah dan Irak kini mengungsi di negara-negara tetangga, seperti Yordania, Lebanon, dan Turki. Ratusan ribu lainnya berupaya melarikan diri menyeberang ke Daratan Eropa, termasuk keluarga Aylan Kurdi.
Untuk mencapai daratan Eropa, ada dua pintu favorit yang menjadi pilihan para pengungsi. Pertama, melalui pantai-pantai di Turki lalu menyeberang ke Yunani. Kedua, lewat negara-negara Arab di Afrika Utara, seperti Libya, kemudian menyeberangi Laut Mediterania menuju pulau-pulau di Italia seperti Sisilia dan Pulau Lampedusa.
Namun, Yunani dan Italia hanyalah tempat transit. Tujuan utama mereka adalah mendapat suaka politik di negara-negara Barat yang lebih makmur, seperti Denmark, Swedia, Inggris, Jerman, Swiss, Norwegia, Kanada, Amerika Serikat, dan lainnya.
Selama tahun ini jumlah pengungsi Suriah yang selamat mencapai Yunani sekitar 160 ribu orang. Sedangkan, yang tewas, menurut Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi atau UNHCR (United Nations High Commmissioner for Refugees), sudah mencapai angka lebih dari 2.000 orang.
Sementara itu, pada tahun lalu jumlah pengungsi yang tewas di perairan Mediterania mencapai 3.279 orang. Sejak tahun 2000, sudah lebih dari 20 ribu pengungsi yang tewas di Laut Tengah. Jenazah mereka banyak yang tidak ditemukan dan mungkin saja sudah disantap ikan-ikan buas di laut luas antara Afrika dan Eropa itu. Ini belum termasuk para pengungsi yang tewas di perairan Indonesia dalam perjalanan mereka menuju Australia.
UNHCR khawatir bila kondisi di Timur Tengah tetap seperti sekarang maka jumlah pengungsi yang tewas ditelan laut akan lebih banyak lagi. Bahkan, mereka memperkirakan bisa mencapai 30 ribu orang. Pada tahun lalu sebanyak lebih dari 125 pengungsi telah berhasil mendarat di Eropa.
Kini terdapat sekitar 200 ribu pengungsi Timur Tengah telah berada di Italia, Yunani, dan Swedia. Mereka menunggu keputusan negara-negara yang bersedia menerima para pengungsi. Sejumlah lebih dari 1.000 pengungsi terdampar di Budapes, ibu kota Hungaria. Mereka telah memutuskan berjalan kaki ke Swiss yang berjarak 175 km setelah dilarang menaiki kereta api.
Para pengungsi yang selamat hingga daratan Eropa bukan berarti telah mengakhiri penderitaan mereka. Di tempat baru ini justru penderitaan sedang dimulai. Sejumlah negara Eropa menolak kehadiran mereka. Ini bisa dipahami karena masalah pengungsi bukan hanya berhubungan dengan hak asasi manusia. Ia juga terkait dengan banyak hal: ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, dan seterusnya.
Apalagi di kalangan masyarakat Barat telah lama muncul apa yang diistilahkan sebagai islamofobia dan arabofobia alias kebencian terhadap hal-hal yang terkait dengan Islam dan Arab. Kebencian yang disebabkan oleh kemunculan kelompok-kelompok radikal di Timur Tengah yang membuat teror di mana-mana. Penolakan atau kekurangramahan masyarakat Barat terhadap para pengungsi ini barangkali bisa dipahami lantaran mereka hanyalah penerima akibat. Penyebabnya tentu saja adalah sekelompok masyarakat di Timur Tengah sendiri yang tamak terhadap kekuasaan.
Tamak kekuasaan yang dibungkus dengan bermacam-macam alasan, termasuk dalih agama. Di Irak dan Suriah, misalnya, sekelompok orang yang menamakan diri sebagai ISIS telah mendeklarasikan berdirinya negara Islam. Namun, dengan mengatasnamakan Islam mereka justru rela membunuh, memenggal kepala, memerkosa, dan membakar hidup-hidup para tawanan atau orang-orang yang dianggap beda pandangan dan sikap dengan mereka. Akibatnya, ratusan ribu atau bahkan jutaan warga yang takut terhadap kekejaman ISIS pun melarikan diri.
Pertanyaannya, apakah dengan mengatasnamakan Islam lalu sekelompok orang—katakan: lSIS dan kelompok-kelompok radikal/teroris lainnya—boleh membunuh, mengusir, dan membuat sengsara orang lain? Bukankah Islam adalah agama rahmatan lil'alamin? Karena itu jelaslah bahwa ISIS bukan Islam. Mereka hanya tamak terhadap kekuasaan dengan berkedok pada Islam.
Memang, tidak semua pengungsi dari Timur Tengah terkait dengan ISIS dan kelompok-kelompok teroris lain semisal Alqaida, Jabhatu an Nasrah, Boko Haram, dan seterusnya. Perebutan kekuasaan antarkelompok atau antara rezim penguasa dan kaum oposisi seperti yang sedang berlangsung di Suriah, Irak, Palestina, Mesir, Sudan, dan sejumlah negara di Timur Tengah lainnya juga telah menciptakan neraka bagi para warga setempat. Kehidupan yang bagaikan neraka inilah yang kemudian menyebabkan ribuan atau bahkan jutaan orang meninggalkan negaranya untuk mengungsi.
Intinya, ketamakan kekuasaan sekelompok orang di Timur Tengah—baik dengan dalih agama ataupun lainnya—telah mengakibatkan kesengsaraan jutaan warga di kawasan itu. Bila masyarakat dunia tidak segera menghentikan konflik, perebutan kekuasaan, dan perang di kawasan itu, maka eksodus besar-besaran para pengungsi Timur Tengah akan terus berlangsung. Harian Inggris, The Telegraph, menulis eksodus para pengungsi sekarang ini merupakan tragedi kemanusiaan paling mengerikan sejak Perang Dunia II.
Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri