Apakah latar belakang moratorium ujian nasional (UN) bertujuan untuk meringankan pelajar?
Sebenarnya tidak dipermudah. Bisa jadi dipersulit. Hanya, dia (pelajar) tidak berada di bawah tekanan dari efek teror UN, bisa dikurangi lah. Tapi, menurut saya, ujian ini nanti bisa lebih komprehensif. Karena tidak hanya beberapa mata pelajaran seperti UN. Kan nanti seluruh mapel (mata pelajaran) dan topik pembahasan menjadi evaluasi menyeluruh, malah lebih menyeluruh. Cuma, pelaksanaannya tidak masif seperti UN itu.
Apakah evaluasi pengganti sama dengan ujian akhir sekolah (UAS)?
Mungkin sama dengan UAS, tapi standarnya beda. Kalau UAS, kan ditentukan sekolah sendiri. Kalau nanti, standarnya nasional. Penyelenggaranya berjenjang tadi itu, untuk SMA/SMK, karena tanggung jawab provinsi, ya provinsi. Kemudian SMP ke kabupaten/kota. Bahkan, nanti SD akan kita standardisasi.
Siapa yang akan membuat soal ujian? Apakah guru di masing-masing sekolah?
Ada pilihan karena kita juga Pusbang (Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Nasional), kita evaluasi juga sediakan bank soal. Tapi, kita sarankan nanti masing-masing daerah bikin soal sendiri, yang dibuat tim. Kita nanti tentukan standar saja. Standarnya tetap nasional. Kita harap bisa lebih leluasa mengawal. Selama ini kan dengan UN, praktis sibuk menyiapkan yang sifatnya teknis. Tapi, nanti dengan ini, pelaksanaannya dilakukan daerah. Jadi, nanti pengawasan atau monitoring, supervisi dari pusat bisa dioptimalkan.
Apakah akan maksimal alih kuasa dari pusat?
Nanti monitoring kan berjenjang. Nanti di tingkat provinsi ada pengawas. Nanti akan kita fungsikan pengawas sekolah.
Apakah soal ujian akan maksimal apabila daerah yang membuat? Bagaimana dengan potensi kebocoran?
Itu nanti teknis. Bisa saja kita tukar. Tim pembuat soal satu daerah membuat soal, tapi soalnya nggak dipakai di daerah itu. Bisa saja. Yang penting standarnya. Misalnya, untuk matematika, standarnya apa saja, nanti dipenuhi si pembuat. Oleh Umi Nur Fadhilah, ed: Muhammad Iqbal