oleh:Nurul S Hamami -- Pada saat-saat terakhir Partai Golkar akhirnya resmi menyatakan bergabung dengan koalisi pimpinan Partai Gerindra untuk mencalonkan Prabowo-Hatta Rajasa sebagai pasangan capres-cawapres, Senin (19/5). Bila pada deklarasi hari itu Aburizal Bakrie (ARB) sebagai ketua umum Golkar tak hadir, kemarin dia duduk di sebelah Prabowo saat mendaftarkan pasangan calon tersebut ke Komisi Pemilihan Umum.
Pada saat hampir bersamaan, di sebuah tempat di pusat bisnis Jakarta yang berjarak sekitar delapan kilometer saja dari kantor KPU, tak kurang dari 30-an kader muda “partai beringin” itu mendeklarasikan Forum Paradigma Gerakan Muda Indonesia (FPGMI). Dalam pernyataan persnya, mereka secara tegas dan terang-terangan mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam kandidasi pemilihan presiden (pilpers) 9 Juli mendatang.
Walaupun ancaman pemecatan sebagai fungsionaris partai berada di depan mata, namun mereka menyatakan tidak takut. Bagi mereka, tampaknya mendukung calon yang memiliki “garis keturunan” dengan partai adalah lebih terhormat ketimbang harus mendukung orang lain demi untuk mengejar kursi menteri. Sebagaimana diketahui, JK adalah mantan ketua umum Golkar dan sampai saat ini masih tercatat sebagai kader partai besutan Orde Baru itu.
Keberanian anak-anak muda Golkar tersebut tentu karena mereka tidak berdiri sendiri. Di belakang itu agaknya elite-elite senior mereka juga mendukung kesepakatan bersama untuk mendukung Jokowi-JK. Sinyalemen dukungan dari tokoh-tokoh senior Golkar itu sempat terungkap juga dalam jumpa pers FPGMI siang itu. Namun, kata salah seorang dari mereka, tokoh-tokoh senior itu tidak perlu turun tangan langsung.
Sebelumnya, suara tidak sama juga melingkupi upaya ARB untuk maju dalam pencapresan pasca-Pemilu 9 April lalu. Sejumlah ormas pendiri Golkar meminta agar pencapresan ARB ditinjau kembali lantaran Golkar tidak tampil sebagai pemenang pemilu. Begitu pula masih ada suara-suara sumbang di DPD-DPD yang menginginkan niat pencapresan itu ditimbang-timbang kembali.
Namun, Rapimnas Golkar pada 18 Mei lalu akhirnya memberi mandat kepada ARB untuk memutuskan arah koalisi Golkar. ARB pun akhirnya memutuskan Golkar bergabung dengan koalisi pimpinan Gerindra yang mengusung pasangan Prabowo-Hatta. Kabarnya ARB ditawari kursi menteri utama bila Prabowo-Hatta menang.
Tidak satunya suara Golkar dalam pencapresan sebenarnya sudah bisa diprediksi. Ini berkaca pada pengalaman dua pilpres terdahulu di era Reformasi, yakni pada 2004 dan 2009. Kala itu jago Golkar kalah karena tidak solidnya dukungan dari semua elemen partai dalam memenangkan capres mereka. Padahal, pada 2004 Golkar adalah pemenang pemilu dan pada 2009 yang maju adalah ketua umumnya. Terpecahnya dukungan dan tidak solidnya Golkar membuat capres mereka bertumbangan.
Kalaupun ARB bisa maju di pilpres tahun ini, maka ketidakkompakkan dukungan terhadapnya pun sudah diperkirakan akan muncul. Tapi, ARB akhirnya tidak bisa maju karena Golkar kehabisan teman koalisi. Pada gilirannya ketidaksolidan itu pun terjadi lagi sekarang, meskipun tak ada kader Golkar yang maju dalam pencapresan.
Sifat dasar Golkar yang sudah puluhan tahun duduk di pemerintahan tampaknya sudah menjadi sifat turunan. Mereka selalu berusaha untuk bisa masuk dalam lingkar kekuasaan walaupun tidak duduk dalam puncak kekuasaan. Posisi menteri tidak mengapa, asalkan tetap berada di pemerintahan. Golkar sepertinya tidak siap untuk berada di luar kekuasaan. Inilah mungkin yang menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa Golkar seperti selalu bermain di dua kaki sejak dua pilpres langsung yang lalu.
Golkar memang selalu berjaya dalam pemilu legislatif. Mereka tak pernah terlempar dari “dua besar” dalam pemilu Reformasi. Namun, selalu kandas dalam pilpres. Ini karena kader-kadernya yang tersebar di sejumlah ormas pendiri partai, masing-masing all out menggunakan bendera partai untuk masuk ke parlemen. Tapi, bila sudah urusan pilpres, masing-masing mencari posisi yang menguntungkan --meskipun harus bertentangan dengan kebijakan partai.
Itu pula yang agaknya sedang dimainkan oleh elite-elite Golkar sekarang. Mereka, dengan kepentingan masing-masing, mencari posisi mana yang pas agar Golkar tetap berada di pemerintahan. Tak peduli melawan garis kebijakan partai, walau akhirnya suara dukungan terpecah. Tapi, sejak kapan Golkar tidak pecah dalam pencapresan?