Empat tahun menikah, belum ada juga tangisan bayi terdengar. Siska Nirmala (29 tahun) masih menantikan si buah hati di tengah-tengah kehidupan bersama suaminya.
Perempuan asal Bandung ini mengaku sempat terganggu dengan pertanyaan kehamilannya dari beberapa kerabatnya.
Pertanyaan-pertanyaan 'sudah ngisi belum?' Sempat mengganggu. Tapi, cuma di tahun pertama, kata dia. Ia menilai, rasa terganggu itu lebih karena pada tahun pertama pernikahan kondisi mentalnya masih labil. Dan, sangat berharap bisa segera punya momongan, katanya.
Gangguan itu berjalan lama karena kini pegawai swasta di salah satu perusahaan di Bandung, Jawa Barat, ini telah meyakinkan diri untuk pasrah. Dia memandang bahwa anak pada hakikatnya merupakan titipan dari Sang Ilahi yang segalanya telah diatur. Dia dan suami memilih sikap selalu berprasangka baik terhadap ketentuan-Nya sembari berupaya semaksimal mungkin.
Pada tahun pernikahan yang kedua, Siska mengatakan, sempat memeriksa diri ke dokter kandungan bersama sang suami. Dari hasil itu, mereka mendapatkan informasi bahwa mereka berdua sehat, tidak ada masalah apa pun. Hasil ini membuat keduanya memandang positif dalam menanti buah hati.
Berjalan natural saja dan banyak berdoa, konsumsi makanan sehat serta olahraga. Kalau seperti itu, mudah-mudahan rezeki anak bisa ngikutin, ujar aktivis zero waste ini.
Quality time bersama suami
Meski begitu, Siska mengaku sempat juga berdiskusi dengan suami perihal kemungkinan mengangkat anak. Namun, wacana ini tak kunjung diputuskan karena mereka tahu mengangkat anak tidaklah mudah. Sebab, kata dia, mengadopsi anak butuh tanggung jawab, komitmen, keikhlasan, dan kesadaran yang jauh lebih besar daripada anak sendiri nantinya.
Meski tak mengangkat anak, Siska merasa dirinya tak terbebani sedikit pun dengan kondisinya. Lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini mengaku tidak merasa kesepian. Apalagi, dia dan sang suami sama-sama bekerja dan terlibat dalam banyak aktivitas.
Siska percaya mimpi kehadiran buah hati tercapai pada waktu yang tepat. Entah dari rahim sendiri atau rezeki seorang anak lain yang akan kami adopsi. Percaya hal ini and your life would be fine, kata dia.
Rindu kehadiran seorang anak juga dirasakan oleh Citra Larasati (33) yang telah menjalani pernikahan selama tiga tahun. Pada setiap ulang tahun pernikahan, perasaan itu mau tidak mau akan muncul dalam benaknya. Sesekali mengganggu, tapi lebih banyak tidak mengganggunya. Mengganggu bukan karena apa-apa, tapi justru karena ada beberapa orang yang menganggap pernikahan belum dikaruniai anak itu sesuatu yang menyedihkan dan tidak bahagia, kata dia.
Citra kerap bingung terhadap orang yang sering menggunakan standar kebahagiaannya untuk mengukur kadar kebahagiaan orang lain. Dia tidak terbiasa seperti itu, apalagi Citra bersama suami merasa baik-baik saja selama ini. Meski demikian, Citra memaklumi sikap tersebut karena dianggapnya sebagai bentuk perhatian saja.
Dalam menantikan buah hati, saran berbagai macam dari kerabat tentu didapatkannya. Beberapa di antaranya, mengonsumsi sejumlah makanan yang dianggap baik untuk kandungan. Bahkan, dia sempat disarankan mengangkat anak untuk 'memancing' kehamilan.
Dan hal paling dihindari justru adopsi buat 'mancing anak', kata dia.
Di matanya, anak angkat itu amanah yang harus diperlakukan sebagaimana anak kandung sendiri. Oleh sebab itu, dia menilai, mengangkat anak untuk memancing kehamilan bukanlah suatu yang etis. Untuk saat ini, dia dan suami hanya perlu menunggu dan berupaya semaksimal mungkin dalam menantikan anak.
Kita tidak merasa terjebak dalam suasana apa pun, jadi belum merasa perlu cari jalan keluar. Cuma satu, mencari quality time saja sama suami, kata perempuan yang menetap di Depok ini.
Melihat masalah ini, psikolog dari Universitas Indonesia (UI), Sani Budianti Hermawan, mengatakan, secara umum pasangan yang belum dikaruniai anak akan menjalankan hidupnya secara wajar. Namun, tekanan justru berasal dari luar. Puncaknya akan terjadi dalam tiga tahun perkawinan. Saat itu, pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan keluarga dan teman itu dapat menimbulkan keresahan.
Bukan 'mancing anak'
Saat berada pada situasi tersebut, beberapa pasangan suami istri terpaksa mengambil langkah mengangkat anak. Keputusan ini dapat menjadi jalan terbaik, jika berdasarkan kesepakatan dan bukan paksaan dari orang sekitar.
Jika masalahnya kesepian, sebenarnya ada beberapa alternatif jalan keluar. Menurut Sani, pasangan suami istri sebenarnya bisa mengurus, misalnya, keponakan walau tidak permanen. Mereka juga dapat memelihara hewan agar tidak merasa terlalu kesepian.
Sani mengingatkan, mengangkat anak memang bukan hal mudah. Ada banyak hal yang perlu disiapkan, mulai dari mental, materi, kasih sayang, wawasan, dan dukungan keluarga. Dia juga menegaskan, tujuan mengangkat anak diharapkan bukan sekadar untuk 'memancing anak'.
Istilah 'memancing anak' digunakan bagi pasangan yang mengambil anak dengan harapan nantinya akan dikaruniai anak kandung. Tujuan seperti itu dinilai Sani tidak tepat. Mengangkat anak, kata dia, haruslah dengan tujuan Sungguh-sungguh ingin merawat anak dan membesarkannya secara ikhlas.
Dia juga menegaskan, mengangkat anak memang bukan selalu menjadi solusi tepat. Beberapa pasangan suami istri ada yang memutuskan untuk hidup berdua saja. Meski demikian, mereka juga perlu mengantisipasinya, terutama saat merasa kesepian. Sebab, pada tahap ini, suami istri biasanya akan merasa hidupnya hambar, kurang bergairah, bahkan depresi.
Dalam menghadapi masalah ini, Sani menyarankan, pasangan suami istri mengisi kegiatan secara optimal. Seperti ikut organisasi, melakukan hobi, jalan-jalan dan sebagainya, katanya. Terlebih, dengan kegiatan bersama yang dapat menguatkan hubungan pasangan. Upaya ini penting karena banyak pasangan yang lebih senang mencari pelampisan masing-masing hingga berbuntut perceraian.
Tujuan perkawinan
Psikolog Anna Surti Ariani menyarankan, pasangan suami istri yang belum mendapatkan anak agar menggali kembali tujuan pernikahan. Sebab, kata dia, tujuan pernikahan dan perkawinan tidak selalu untuk mendapatkan keturunan. Beberapa ada yang ingin menikmati kehidupan sebagai pasangan, sedangkan lainnya masih menanti anak dari Tuhan.
Untuk pasangan suami istri yang belum mendapatkan karunia anak, Anna berharap, mereka dapat menggali lebih dalam rencana Tuhan sebenarnya. Sebab, kata dia, kehadiran anak pada hakikatnya kehendak dari Sang Maha Kuasa. Terus usaha dan tetap syukuri pernikahan. Jangan jadikan masalah ini sebagai alasan untuk bertengkar, apalagi bercerai, katanya. Oleh Wilda Fizriyani, ed: Nina Chairani