Selasa 23 Sep 2014 17:00 WIB
Pascasarjana

Meraih Pascasarjana untuk Pengembangan Diri

Red:

Bukan tanpa pertimbang an atau sekadar iseng Khoi rul Bariyah(27 tahun) men daftarkan sekolah pasca sarjana tahun lalu. Tiga tahun mengajar di sebuah lembaga swasta tak membuatnya merasa di zona nyaman sehingga menjadi malas untuk menuntut ilmu.

Tahun 2013, ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Irul, begitu gadis asal Pekalongan ini biasa dipanggil, mengatakan pada era sekarang ini kenaikan jenjang jabatan untuk pendidikan S-1 semakin sulit diraih. Selain itu, bagi wanita ke sempatan untuk menempuh pendidikan pascasarjana perlu diambil agar bisa mendapatkan pekerjaan dengan waktu yang lebih fleksibel. "Agak sulit untuk membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan kalau kita hanya sekolah S-1. Misalnya, S-1 kita menjadi guru yang harus full di sekolah kalau kita S-2, bisa menjadi dosen dengan jam mengajar lebih fleksibel. Ini penting jika sudah berkeluarga," ujar Irul saat dihubungi, Ahad (21/9).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:dokrep

Direktur Bina Sarana Informatika (BSI) Naba Aji Notoseputro mengatakan bahwa tantangan ke depan akan semakin berat. Generasi muda perlu men dapatkan bekal yang lebih tinggi dalam hal pendidikan. Sekolah pascasarjana sebagai salah satu upayanya. Kerja sama yang semakin global dengan negara-negara lain memicu kebutuhan lulusan S-2. "Kondisi di Indonesia masih kurang kualifikasi S-2 karena di sisi lain industri butuh, aturan di perguruan tinggi juga mengharuskan aturan semua dosen harus S-2," ujar Naba.

Menurut Naba, peluang bagi lulusan S-2 masih sangat luas lantaran tuntutan pekerjaan dan tuntutan bahwa dosen harus S-2. Apalagi, tahun depan sudah akan berlangsung masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Dari tahun ke tahun, makin banyak generasi muda dan orang tua yang menyadari harus ada bekal yang lebih agar putra putri mereka bisa berpartisipasi aktif dalam kerja sama ini. Saat MEA sudah berlangsung nanti, kualifikasi akademik menjadi hal yang relatif penting.

Orang yang memiliki kualifikasi S-2, tutur Naba, akan punya le bih ba nyak kesempatan dibandingkan S-1. Kualifikasi S-2 juga bukan semata- mata masalah gaji, melainkan lebih menitikberatkan pada proses pengembangan dan kemampuan diri.

Jenjang strata dua juga merupakan investasi masa depan yang bagus untuk bangsa. Kita tak bisa memungkiri, di setiap negara maju, rasio masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi dengan berkualifikasi S-2, bahkan S-3 relatif lebih banyak. Menguasai beberapa bidang ilmu pun, menurut Naba, adalah hal yang positif.

Ia menambahkan jika semakin ba nyak anak-anak Indonesia yang melanjutkan pendidikan usai S-1 maka kita akan lebih siap dalam menghadapi tantangan di berbagai bidang. Apalagi, kini pilihan untuk S-2 semakin banyak.

Hampir semua bidang ilmu kini menyediakan jenjang S-2. Ilmu pengetahuan saat ini juga semakin lintas ilmu. Dengan melanjutkan sekolah pascasarjana, bisa juga memperbarui keilmuan karena tuntutan dunia kerja semakin tinggi dan untuk mencari peluang serta jaringan yang lebih luas.

Menurut Naba, saat ini hampir tidak ada bidang ilmu yang linier sehingga seorang profesional juga bisa saja mencari ilmu yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya ketika S-1 dulu. Naba mencontohkan, saat ini ilmu kedokteran sudah berkembang sangat maju sehingga sah-sah saja ketika seorang dokter lantas belajar ilmu komputer untuk menunjang profesinya.

Untuk para pekerja profesional, semakin banyak ilmu yang dipelajari, justru semakin bagus. "Untuk profesional, ujungnya tidak ada linieritas ilmu semua berujung pada pengembangan diri saja," ujarnya.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan, kerja sama MEA akan membawa orang-orang terbaik dari negara ASEAN untuk datang ke Indonesia. Untuk mengimbangi hal ter sebut, menurutnya, sekolah pascasarjana sebagai suatu bekal yang baik agar posisi-posisi tinggi dalam sebuah perusahaan tidak semua nya diambil oleh negara lain. Menurut Doni, pada umumnya keahlian pekerjaan lebih ditentukan pada kompetensi atau sertifikasi profesi, bekal akademik S-2 bisa menjadi nilai tambah.

Doni berpendapat jenjang S-1 hanya mempelajari hal-hal umum. Banyak hal dan analisis yang memang baru dilatih dalam jenjang pendidikan S-2. Doni memperkirakan posisi tinggi dalam suatu perusahaan pasti akan diisi oleh S-2 karena lulusan S-2 sudah teruji dalam hal ketekunan. Terlebih, jenjang S-1 di Indonesia baru mengajarkan pengetahuan umum. Spesifikasi yang diperlukan baru ada dalam jenjang S-2.

Lain profesional lain guru. Jika profesional bisa saja menempuh pendidikan yang tidak linier untuk menunjang kemampuan diri, menurut Doni, guru harus ada yang mengambil pendidikan linier dengan level S-1 yang linier agar tidak merusak sistem pendidikan yang ada. Para guru, ia mengungkapkan, tidak boleh asal mengambil S-2 untuk menunjang program sertifikasi. Tidak boleh jika seorang guru matematika lantas mengambil pendidikan master manajemen, lalu dianggap telah menempuh program S-2 demi sertifikasi karena hal ini tidak sesuai dengan kompetensi yang dituntut. "Karena tujuan sertifikasi untuk memperkuat kualitas guru yang sudah ada," katanya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengatakan, untuk menjadi negara maju pada 2030, Indonesia membutuhkan tenaga kerja terdidik sebesar 113 juta jiwa. Hal ini menjadi pekerjaan rumah pula pagi pemerintah untuk memberikan pendidikan, termasuk untuk jenjang S-2 dengan berbagai beasiswa. rep:dwi murdaningsih ed: hiru muhammad

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement