JAKARTA -- Asosiasi Hotel dan Restoran Syariah Indonesia (AHSIN) menilai, hotel syariah sangat prospektif. Ini karena hotel syariah kompatibel dan sesuai untuk segmen keluarga, baik Muslim maupun non-Muslim.
Direktur Eksekutif AHSIN Yopi Nursali mengatakan, rata-rata masyarakat Indonesia merasa cocok dengan hotel syariah. Ini karena hotel syariah lebih akomodatif terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. "Selain itu, sebagian besar masyarakat Indonesia rata-rata tidak suka dengan sifat yang merusak, seperti minum-minuman beralkohol dan pasangan bukan muhrim yang menginap di satu ruangan. Ini (hotel syariah) nilai universal dan kami berupaya membuang nilai-nilai yang sifatnya merusak itu," ujarnya kepada Republika, Rabu (10/9).
Yang tidak kalah penting, kata dia, hotel syariah juga bersifat kekeluargaan yang kompatibel untuk sanak saudara tamu hotel seperti keluarga, istri, hingga anak-anaknya. Untuk itu, ia yakin permintaan adanya hotel syariah kecenderungannya terus meningkat.
Yopi menyebutkan, sebenarnya ada hotel biasa namun menggunakan syariah secara inisiatif dengan menerapkan produk syariah. Misalnya, di Bandung, Jawa Barat (Jabar), dan Bali ada hotel yang berprinsip syariah. Kalaupun tidak mentahbiskan diri sebagai hotel syariah, kata dia, tetapi hotel tersebut secara substansi menerapkan nilai-nilai seperti menolak menjual minuman beralkohol, menolak tamu nonmuhrim di kamar, dan hanya menjual produk-produk halal.
"Saat ini diperkirakan ada lebih dari 100 hotel syariah di Indonesia dan lokasinya menyebar di seluruh wilayah Indonesia," katanya.
Hotel syariah itu, di antaranya, Hotel Grasia Semarang, Jawa Tengah (Jateng); Arini Hotel dan syariah hotel di Solo (Jateng); Hotel Madani Medan (Sumatra Utara); Natama di Padang Sidempuan (Medan); Hotel Grand Jamee di Riau; Hotel Lingga dan Maribaya di Bandung; Hotel Montana di Banjarbaru (Kalimatan Selatan), hingga Hotel Zahra di Kendari (Sulawesi Tenggara).
Namun, dia melanjutkan, jumlah hotel yang bagian dapurnya telah mengantongi sertifikat halal hanya 25 buah. Contohnya Hotel Santika di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sementara hotel yang sudah mendapat sertifikat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), artinya hotel syariah yang benar-benar bersertifikat secara keseluruhan seperti Hotel Natama (Medan), Hotel Sofyan, dan Hotel Bayt Kaboki di Kuta, Bali.
Saat ini, pihaknya memprioritaskan mengembangkan hotel syariah di 13 destinasi utama atau seperti yang ditetapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). Di antaranya di Aceh, Sumatra Barat (Sumbar), Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (Jabar), Jateng, Yogyakarta, Jawa Timur (Jatim), Sulawesi Selatan (Sulsel) ,Bali, hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Tetapi kami tidak hanya terpaku di 13 destinasi. Kami memperluas segmen pasar dan hotel syariah terbuka tidak hanya untuk Muslim," katanya.
Dia mencontohkan di Medan, Sumatra Utara, yang notabene banyak non-Muslim, ternyata ada hotel syariah Natama dan Sofyan Saka Hotel. Para tamu hotel dari kalangan Muslim tidak lagi cemas mengenai kehalalan makanan, suasana kamar dan minuman beralkohol.
Sementara tamu non-Muslim juga ketika di hotel syariah mendapatkan pelayanan yang sama seperti ketika menginap di hotel biasa. Tamu hotel non-Muslim juga bisa terbebas dari minuman non-alkohol karena ternyata banyak di antara mereka yang tidak suka minuman keras. Mereka juga setuju larangan nonmuhrim menginap dalam satu kamar.
Ini terbukti dengan banyaknya tamu non-Muslim yang menginap di hotel syariah. Ia menyebutkan, suster dari Santa Maria, Bandung, Jawa Barat, pernah menginap di Hotel Sofyan Jakarta. Bahkan, dewan gereja juga pernah bermalam di hotel itu.
"Itu adalah nilai-nilai universal. Akhirnya dapat kita sebut bahwa hotel syariah karena family friendly, kompatibel dengan kekeluargaan dan memenuhi kebutuhan semua pihak," ujarnya. rep:rr laeny sulistyawati ed: irwan kelana