Satu poin krusial yang juga men jadi penyebab berlarutlarutnya pembahasan RUU Pilkada sejak pertengahan 2012 adalah soal kekerabatan dalam pengisian jabatanjabatan politik seperti gubernur, bupati, wali kota. Dalam draf RUU yang diusulkan pemerintah, disebutkan kerabat dekat kepala daerah, baik gubernur maupun bu pati/wali kota, dilarang maju mencalonkan diri dalam pilkada di daerah yang sama.
Pasal 12 Huruf p RUU Pilkada menyebutkan, calon gubernur tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu tahun. Selanjutnya Pasal 70 Huruf p me ngatur calon bupati/wali kota tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.
Foto:Musiron/Republika
Sampai rapat konsinyering pembahasan RUU tersebut di kawasan Kopo, Bogor, 1-3 Sep tember lalu, Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP tidak setuju dengan usulan peme rin tah. Tapi, mereka sepakat dengan persyaratan khusus yakni akseptabilitas dan kapabilitas. Selama enam belas tahun bergulirnya era Reformasi, kekerabatan politik di ting kat nasional maupun lokal terlihat marak. Kekerabatan yang dimaksud adalah per luas an jaringan kekuasaan kalangan ke luarga untuk menduduki jabatan-jabatan politik.
Sudah sering kita mendengar keluarga elite parpol duduk di legistatif pusat maupun daerah. Atau juga menjadi kepala daerah di daerah yang satu, sementara kerabat lainnya di daerah yang satunya lagi.
Tidak baru lagi juga bila kita mendengar cerita ada istri bupati yang menggantikan posisi suaminya karena sudah tak bisa men calonkan diri lagi. Juga ada seorang ayah men jadi gubernur, sedangkan anaknya menjadi bupati. Bahkan ada seorang ayah menjadi bupati, sementara anaknya menja di ketua DPRD untuk daerah yang sama.
Reformasi politik yang berlangsung menyusul runtuhnya rezim Orde Baru harus diakui telah membuka ruang partisipasi politik yang begitu lebar di masyarakat. Partai-partai politik pun lahir sebagai bagian dari terbukanya ruang tersebut.
Kian luasnya ruang partisipasi politik di masyarakat juga ditandai dengan pemilihan presiden secara langsung mulai 2004. Serta yang paling fenomenal adalah pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara langsung mulai pertengahan 2005 lalu. Selain itu, juga pemilihan umum anggota legislatif yang hasilnya ditentukan melalui suara terbanyak (2009 dan 2014).
Kondisi tersebut membuka peluang kontestasi untuk merebut posisi/jabatan politik yang dulunya sama sekali terbatas. Masyarakat sebenarnya memiliki peluang yang sama untuk mengisi posisi-posisi politik tersebut. Namun, pada akhirnya siapakah yang bisa memanfaatkan peluangpeluang tersebut?
Rekrutmen buruk
Seiring dengan reformasi politik, partai politik (parpol) kini menjadi pemain utama —bukan lagi pemain pinggiran dalam pen tas politik. Merekalah yang menja lan kan fungsi rekrutmen dan menyeleksi kaderkader partai untuk merebut jabatanjabatan politik yang tersedia.
Namun, fungsi rekrutmen ini tidak berjalan dengan baik hampir di semua parpol pada era reformasi ini. Sering kita menyaksikan partai-partai yang memiliki suara besar tidak mencalonkan kadernya untuk merebut jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Akhirnya, tidak sedikit orang nonparpol yang mengisi jabatan-jabatan kepala daerah/wakilnya. Setelah menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah barulah mere ka merebut posisi puncak di parpol sebagai ketua umum di kepengurusan daerah. Sekali lagi harus dikatakan, kemun culan orang-orang nonparpol yang mengisi jabatan-jabatan politik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diba ca sebagai pertemuan dua kepentingan.
Pertama, pada satu sisi fungsi rekrutmen kader yang tak berjalan menjadikan parpol tidak memiliki kader yang cukup kuat untuk mengisi posisi politik tersebut. Di sisi lain mereka perlu merebut juga kursi-kursi jabatan itu. Sebagai jalan pintas, kebanyak an parpol akhirnya mencari tokoh-tokoh populer di masyarakat yang mereka dukung dan usung untuk mengikuti kontestasi jabatan-jabatan politik tersebut.
Kedua, munculnya elite masyarakat di tengah-tengah tidak berjalannya fungsi rekrutmen kader di lingkungan parpol. Mereka adalah para pengusaha, tokohtokoh lokal (adat), selebriti, ataupun figur publik populer lainnya. Dengan segala kepentingan pragmatisnya, para elite masyarakat ini menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk menduduki jabatanjabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.
Pertemuan dua kepentingan itulah yang pada gilirannya memunculkan para elite dan keluarganya dalam pengisian jabatanjabatan politik. Parpol yang gagal dalam melaksanakan fungsi rekrutmen memer lukan tokoh populer, sementara ada elite masyarakat yang membutuhkan parpol sebagai kendaraan untuk mencapai kekua sa an yang diinginkannya. Keduanya berte mu dalam kepentingannya sendiri-sendiri.
Bila hal tersebut dibiarkan, tentu akan berdampak buruk bagi masa depan demo krasi Indonesia. Kekerabatan politik dalam pengisian jabatan-jabatan kepala daerah akan semakin besar. Ini tentu tidak sehat bagi ke berlangsungan demokrasi. Demok rasi nan tinya tak lebih hanya sebuah proses prosedural karena akses kekuasaan hanya terbatas pada kalangan "dinasti" masing-masing. Yang lebih berbahaya, akses pada sumbersumber ekonomi otomatis hanya dikuasai oleh kekuatan dinasti politik tertentu saja.
Parpol yang seharusnya menjadi ajang rekrutmen bagi kader-kader terbaiknya untuk maju dalam kontestasi, akhirnya tak lebih sebagai ajang tawar-menawar dengan elite masyarakat. Bau politik uang pun terhirup. Hal ini berdampak pada ongkos politik yang sangat besar bagi sang elite yang mencari kendaraan untuk maju. Akibat nya kemudian tak sedikit kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersang kut kasus korupsi.
Dampak buruk itu dapat diminimalisasi dengan berjalannya fungsi rekrutmen yang dilakukan oleh parpol. Bila fungsi seleksi dan penguatan kader ini berjalan dengan baik serta berjenjang, hasilnya adalah ka der-kader berkualitas yang siap dipakai untuk mengisi jabatan-jabatan politik ter sebut. Selama ini yang terjadi adalah mis kinnya kader yang kapabel untuk mengisi posisi itu karena tak berjalannya fungsi rekrutmen politik dengan baik. Akibatnya, parpol melakukan cara instan dengan memberi dukungan kepada tokoh yang memiliki kedekatan dengan elite kekuasaan ataupun elite parpol untuk tampil.
Tidak berjalannya fungsi rekrutmen politik membuat banyak parpol menjadi tidak menoleh pada kader yang mereka miliki. Nilai-nilai idealis untuk mencari orang terbaik yang akan diusung dalam mengisi jabatan-jabatan politik dikalahkan oleh nilai-nilai pragmatis. Kader yang memiliki kemampuan, tapi tak memiliki akses kepada elite parpol dan kekuatan modal, menjadi terpinggirkan.
Padahal, semakin berkualitas kader yang dimajukan, maka akan sangat besar kemung kinannya menghasilkan kinerja yang bagus pula. Dengan kecilnya ongkos politik yang harus dikeluarkan karena tidak harus mem bayar "uang perahu" dan segala macamnya, akan semakin jauh pula peri laku korupsi dilakukan oleh calon terpilih. Pada kasuskasus kepala/wakil kepala daerah yang tersangkut korupsi, patut di duga merupakan upaya untuk mengem balikan ongkos politik yang telah dikeluar kan pada waktu pilkada.
Sudah waktunya parpol memperbaiki sistem rekrutmen politiknya yang berjalan selama ini. Harus ada kemauan politik dari para pemimpin parpol untuk merombak total sistem rekrutmen politik sehingga pada saatnya nanti telah tersedia kader-kader parpol yang mumpuni untuk mengisi ja bat an-jabatan politik itu. Dalam waktu dekat, setidaknya dengan menyetujui pasal-pa sal terkait kekerabatan politik penca lon an kepala daerah/wakil kepala daerah dalam RUU Pilkada yang sekarang masih dibahas.
Uji publik
Fraksi-fraksi di DPR terbelah pendapat nya mengenai usulan pemerintah terkait kekerabatan politik dalam pengisian ja batan kepala daerah. Mereka yang tak setu ju dengan usul ini mengingatkan akan ren tannya gugatan lantaran aturan tersebut tidak sesuai dengan konstitusi yang mem berikan hak yang sama kepada warga ne gara untuk berpartisipasi dalam pengisian jabatan-jabatan politik.
Sebagai jalan kompromi, Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II DPR sepakat diada kannya uji publik enam bulan sebelum pil kada terhadap para bakal calon kepala daerah. Uji publik dilakukan untuk menim bang kompetensi dan integritas bakal calon yang akan maju dalam kontestasi pilkada.
Menurut Ketua Komisi II DPR, Agun Gunandjar Sudarsa, kebijakan uji publik ini dibuat untuk menekan fenomena "jual tiket" dalam proses pencalonan di masing-ma sing parpol. "Karena selama ini ada parpol yang tiba-tiba di detik-detik ter akhir, langsung men jadikan pasangan calon. Sementara pub lik belum mengetahui rekam jejak pasangan tersebut," kata Agun dalam website pribadinya, kangagun.com, Senin (2/3/2014).
Dalam RUU Pilkada nanti, jelas Agun, Komisi II DPR bersama Pemerintah akan memasukkan persyaratan uji publik berupa serangkaian tes kompetensi dan tes inte gritas. Syarat ini harus dilewati oleh bakal calon kepala daerah, sebelum tampil se bagai calon dalam pilkada baik melalui parpol maupun jalur independen.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengeta huan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, seringkali mengusulkan agar dalam UU Pilkada ada memuat tentang uji publik bagi setiap kandidat. "Ini perlu ada agar tak semua orang yang merasa populer bisa maju dalam pencalonan di pilkada. Artinya, yang maju adalah mereka yang kompeten dan memenuhi kepantasan menjadi pemimpin karena sudah melalui uji publik," katanya dalam diskusi publik terkait RUU Pilkada di Jakarta awal Oktober tahun lalu.
Menurut Haris, tujuan pemilu termasuk pilkada bukan hanya memilih pemimpin atau wakil-wakil rakyat saja. Tapi lebih dari itu, juga memilih orang-orang yang akuntabel. Namun, lanjutnya, skema pemi lu-pemilu kita belum didesain untuk meng hasilkan pemim pin/wakil-wakil rakyat yang akuntabel.
"Tengok saja mulai dari pemilu legislatif sampai pilkada. Dalam pemilu legislatif kita tak bisa yakin yang kita pilih akan ber tang gung jawab kepada kita semua. Sebab, jumlah daerah pemilihan (dapil) terlalu be sar dan banyak," kata Haris. "Bagaimana kita bisa yakin wakil-wakil kita akan akun tabel kalau kita sendiri tidak tahu wakil-wakil kita.