Alhamdulillah, akhir minggu ini umat Islam akan menunaikan ibadah puasa yang merupakan rukun Islam keempat. Awal puasa kali ini berada dalam suasana pemilihan presiden (pilpres) yang semakin panas, seperti saling tuduh dan saling bantah, termasuk antarpurnawirawan ABRI (TNI).
Tentu saja, ketegangan ini jangan sampai makin meruncing. Apalagi, melalui puasa kita diingatkan untuk saling mengasihi dan menjauhkan segala ucapan yang menghujat.
Bagi umat Islam, khususnya warga Jakarta yang terkenal religius, kedatangan Ramadhan tentu ditunggu-tunggu dalam suasana gembira dan tidak berbuat sesuatu yang menyolok, seperti merokok atau makan di luar rumah pada siang hari.
Saya sudah enam kali mengalami Ramadhan selama tinggal di Condet, Jakarta Timur. Di pedalaman Condet, tak ada warung yang buka pada siang hari selama Ramadhan. Berbeda dengan lain daerah yang hanya tutup pada hari-hari permulaan puasa, selama dua atau tiga hari.
Dalam menyambut Ramadhan kali ini, ada sesuatu yang hilang yang sampai 1950-an masih kita dapati. Pada sore hari menjelang Ramadhan, di getek-getek tepi sungai terlihat para ibu, khususnya para gadis, tengah keramas. Dengan berkemben kain batik, mereka mandi dan menyirami seluruh tubuh dengam air sungai yang masih agak jernih.
Kalau sekarang menggunakan sampo, tapi ketika itu saat keramas menggunakan merang berupa kulit gabah yang dibakar, kemudian dicampur dengan buah rek-rek (rerek), hingga berbusa. Selain merang, juga menggunakan lidah buaya. Kala itu, mereka menggunakan minyak kemiri yang saat inisudah menghilang.
Waktu itu, di Kramat yang sekarang menjadi Toko Buku Gunung Agung terdapat seorang sinse yang juga menjual minyak kemiri dan diberi aroma untuk mengharumkannya.
Ada lagi tradisi yang sampai kini masih terus dilakukan, berupa ziarah kubur, dua hari atau sehari menjelang puasa. Di masyarakat Betawi tidak dikenal istilah nyekar. Mereka lebih mengenal ziarah kubur yang diikuti keluarganya.
Dalam acara ini yang paling banyak mendapat uang adalah penjaga kubur yang diminta membacakan surah Yasin dan doa. Seingat saya, ketika itu yang berziarah adalah laki-laki karena kaum wanita dikhawatirkan sedang haid.
Sehari menjelang puasa, masyarakat berbondong-bondong ke masjid atau surau untuk melaksanakan shalat Tarawih. Pada hari-hari pertama, tempat ibadah memang penuh. Tapi, semakin lama semakin berkurang, lebih-lebih menjelang Lebaran.
Begitu hormatnya mereka terhadap Ramadhan, sehingga hampir tidak ada yang berani makan dan minum di tengah jalan. Bahkan, para tamu sekali pun jangan harap akan mendapat suguhan.
Anak-anak sejak usia tujuh tahun telah diajari berpuasa, meski hanya setengah hari dan berbuka ketika Zhuhur. Tapi, banyak juga di antara mereka yang berpuasa hingga Maghrib.
Para ibu yang dibantu anak gadisnya menjelang puasa disibukkan untuk membuat kue keperluan Lebaran. Waktu itu, penjual kue tidak sebanyak sekarang.
Yang tidak boleh dilupakan menjelang Ramadhan adalah mengatur penganan dan para ibu umumnya belanja lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa. Makanan untuk berbuka puasa umumnya lebih bervariasi. Sehingga, para ibu yang mengatur biaya rumah tangga mengeluh karena pada bulan puasa justru pengeluaran uang belanja makin bertambah.
Kembali kepada penganan untuk berbuka, para ibu juga sibuk membuat kolak, pacar cina, dan kolang-kaling. Selesai shalat Maghrib, dilanjutkan dengan makan nasi beserta lauk pauknya, seperti sayur asam, sayur lodeh, semur telor, atau daging.rep:alwi shahab ed: dewi mardiani