Jumat 12 Sep 2014 14:00 WIB

Budaya: Antara Pemahaman dan Dialog

Red:

Mereka terlihat serius. Mata mereka tak bergerak, memperhatikan. Sesekali, di antara mereka ada yang berbisik berdiskusi. Belasan anak sekolah menengah pertama itu masih berbalut seragam lengkap, atasan batik warna biru dan bawahan biru dongker, saat menyimak penjelasan seorang seniman asal Prancis Maria Vazquez Castel.

Tak hanya anak sekolah, di sela kerumunan di Gedung C Galeri Nasional itu ada pula mahasiswa seni rupa, juga kalangan umum yang ikut manggut-manggut menyaksikan peragaan untuk mengolah instalasi seni yang dibuat Maria. Sang seniman dengan suaranya yang lirih tapi berirama cepat menjelaskan cara membuat sebuah instalasi berupa deretan image negatif foto berukuran kecil yang disinari lampu neon dari bawah permukaan kaca.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Risan Al Farisi/Republika

"Untuk mencetak gambarnya sendiri mudah. Kertasnya kertas biasa, dan printernya juga printer biasa. Hasil cetak di atas kertas kemudian ditempel di atas plastik mika dan dengan teknik yang mirip dengan sablon maka gambar pun tercetak di atas plastik mika," jelas Maria dalam bahasa Inggris aksen Prancis yang samar terdengar.

Maria yang sedang menjelaskan karyanya kepada para penikmat seni, tidaklah sendiri. Bersama enam seniman lainnya, mereka sedang melaksanakan pameran dalam program residensi, sebuah kegiatan yang "memaksa" mereka untuk tinggal bersama, berdiskusi, dan pada akhirnya menghasilkan sebuah karya seni bersama-sama.

Pameran yang merupakan hasil kerja sama Galeri Nasional dan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini menampilkan karya-karya dari enam perupa peserta Artist in Residence yang terpilih dari 90 pelamar. "Mereka merupakan perupa muda berbakat yang berasal dari Indonesia dan mancanegara," jelas Oky Arfie selaku program manajer residensi ini kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Dari Indonesia diwakili dua orang seniman, Fachriza Jayadimansyah dan Lala Bohang. Sementara, dari mancanegara diikuti oleh Maria Vasquez Castel dari Perancis, Laura Mergoni dari Italia, Tetsuri Kani dari Jepang, dan Young Choi dari Korea Selatan. Materi yang dipamerkan merupakan hasil dari buah pikiran para perupa yang disuguhkan dalam karya seni instalasi, seni grafis laser, eksplorasi keramik, lukisan hyperrealis, hingga karya interaktif.

"Keseluruhan karya tersebut dibungkus dalam konsep "Cultural Interpretation and Dialogue" yang dipilih Citra Smara Dewi dan Dolorosa Sinaga selaku kurator pameran," lanjut Oky sembari berjalan melihat-lihat karya peserta yang dipamerkan.

Sesuai dengan konsep tersebut, karya-karya yang dilahirkan para seniman sebagai peserta program residensi perupa 2014 merupakan hadil eksplorasi estetik dan percakapan kreativitas berdasarkan pengalaman kultural dari masing-masing seniman yang lintas negara itu.

"Mereka melihat potensi dan dinamika budaya di tiga kota besar, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta," tambah Oky. Ketiga kota tersebut dipilih menjadi fokus karena kaya dinamika dan problematika, sehingga sangat inspiratif dan mampu memunculkan berbagai macam ide unik dan menarik.

Seperti dikutip dalam kuratorial pameran yang ditulis sang kurator Citra Smara Dewi dan Dorosola Sinaga, karya-karya para seniman kali ini merupakan hasil interpretasi mereka setelah melihat dinamika budaya di tiga kota yang sebelumnya mereka kunjungi.

"Pergeseran paradigma estetika keindahan dewasa ini tak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial budaya, di mana interaksi seniman dengan masyarakat dan budaya bangsa memegang peranan penting, sehingga terjadilah cultural interpretation and dialogue," tulis mereka.

Mengutip pendapat Berleant, tentang konsep estetika sosial, pada hakikatnya sebuah karya berdasarkan pengalaman yang dimulai dari apa yang seniman alami sehari-hari yang terjadi secara berulang dan intens. Dari pameran ini, tampak pengalaman, interpretasi, dan dialog kultural dari para seniman melalui karya seni rupa kontemporer.

Beberapa karya yang ditampilkan memang tampak unik, seperti instalasi seni karya Lala Bohang, wakil dari Indonesia. Dia menyoal tentang buku sebagai konsepnya berkarya. Lala terinspirasi dari pengalaman sosial sehari-hari dan idenya semakin menjadi setelah membaca buku Pramoedya Ananta Toer.

Lala membawa sebuah tesis tentang buku sebagai pintu untuk pergi ke mana saja yang dapat membawa sesorang menjadi terkenal, memperoleh kenyamanan, dan segala bentuk kehidupan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jadi, pada instalasi yang dia buat, pengunjung akan menemukan deretan buku buku populer yang sampulnya sudah diubah seseuai keinginannya.

Yang menarik lagi adalah karya wakil Indonesia lainnya, Fahriza Jayadimansyah. Seniman muda dari Jakarta ini mengangkat isu tentang ruang publik. Tentang fungsi utama trotoar yang saat ini tidak berfungsi lagi.

Riza, panggilan akrabnya, berpendapat tentang pengalaman sosialnya di ruang publik yang diwujudkan dalam dua karya instalasi.  Riza mencoba membandingkan perkembangan fungsi trotoar, tempat pejalan kaki yang nyaman, dan aman dan fungsinya yang tak lazim, sebagai lalu lintas kendaraan bermotor yang dia simbolkan dengan pelek sepeda motor.

Melihat karya-karya yang ditampilkan oleh para seniman residensi ini, kita bisa melihat adanya hubungan yang mencoba mereka bangun satu sama lain. Satu bulan mereka bersama, tentu ada pemahaman-pemahaman yang tersatukan oleh kebersamaan dan kebiasaan.

Dalam karya seni mereka yang mencerminkan tentang dinamika budaya dari tiga kota di Indonesia, ada pula irisan pengertian yang tampak mereka tampilkan bahwa budaya kita sangat beragam. Interpretasi orang bisa berbeda beda tentang karya seni, bahkan tanpa melalui dialog terlebih dahulu. Seni itu seni. Bebas. rep:c85 ed: dewi mardiani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement