Kamis 31 Mar 2011 18:35 WIB

Kejahatan Bank Sulit Dicegah

Rep: fitria andayani/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Tak ada yang mampu menafsir kedalaman pikiran dan hati seseorang. Inilah dilema yang dihadapi industri perbankan saat menjumpai kasus kejahatan perbankan (fraud). Oknum pegawai sewaktu-waktu bisa berkhianat dan membobol bank.

Kasus pembobolan Citibank hingga Rp 17 miliar membuktikan sintesa tersebut. Seorang karyawan yang sudah bertahun-tahun mengabdi akhirnya jadi musuh dalam selimut. Begitu juga usaha pembobolan BNI sebesar 4 Miliar yang baru-baru ini dilaporkan. “Kejahatan bank yang dilakukan oleh orang dalam sangat sulit dideteksi,” tutur Direktur Utama BRI, Sofyan Basyir.

Menurutnya, secanggih apapun sistem pengawasan dan keamanan yang dilakukan tidak akan berguna bila orang-orang di dalamnya nakal. “Kami punya 75 ribu orang pegawai dan 7 ribu kantor. Begitu banyaknya, hingga kami tidak mampu mengawasinya satu-per satu,” katanya. Hal ini menurutnya, tak hanya dihadapi oleh BRI, namun juga bank-bank lain di Indonesia. “Tak ada yang akan bisa benar-benar bisa terhindar dari kejahatan semacam ini,” katanya.

Meskipun demikian, bukan berarti bank tidak bisa meminimalkan resiko. “Di BRI kami selalu pastikan fungsi auditor berjalan dengan baik,” katanya. Menurutnya, demi memperkokoh fungsi pengawasan, BRI mendirikan residen auditor di setiap kantor cabang BRI. “Mereka akan pastikan semua transaksi keuangan di dalam dan ke luar BRI berjalan dengan seharusnya,” katanya. Bahwa setiap perubahan angka sekecil apapun pada pos-pos transaksi keuangan tertentu akan terdeteksi segera.

Peningkatan sistem pengawasan dan keamanan akan menimbulkan konsekuensi biaya operasional yang tidak sedikit. “Namun ini sudah menjadi pilihan BRI. Bagaimanapun kami harus menjamin keamanan dana nasabah,” katanya. Menurutnya, aturan Bank Indonesia tentang pegawasan perbankan sudah sangat jelas. “Kami harus menjalankannya,” tuturnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Bank Negara Indonesia (BNI), Gatot Suwondo. Menurutnya, secanggih apapun, seberlapis apapun sistem keamanan dan pengawasan yang dibuat pasti ada kelemahannya. Lalu bisa diterabas oleh oknum bank yang nakal. “Namun jangan mengeneralisir. Dari ribuan orang bankir yang ada di BNI mungkin hanya 1 atau dua orang saja yang nakal,” katanya.

Oleh karena itu, BNI sistem rekruitmen tenaga kerja akan terus diperketat. “Kami selalu melakukan tukar menukar informasi terkait seorang pegawai. Kami akan kaji track record-nya sebelum benar-benar diterima di institusi ini,” katanya. Bila dia adalah seorang fresh graduate, maka BNI akan memastikan pencapaian akademisnya saat di universitas. “Dengan demikian akan tersaring orang-orang terpilih yang memiliki integritas,” katanya.

Meskipun demikian, menurutnya, sebuah kasus kejahatan bank tidak bisa menjadi tanggung jawab bank semata. “Nasabah pun harus berhati-hati,” katanya. Seorang nasabah boleh saja dekat dan percaya dengan seorang pegawai bank. “Namun tetap harus pasang mata, siapa tahu di kemudian hari mereka bisa menyerang si nasabah,” katanya. Oleh karena itu, dia menyarankan agar nasabah jangan asal menandatangani cek ataupun surat transaksi kosong apapun. “Ikuti saja prosedur bank dengan baik,” katanya.

Sementara Bank Mandiri menerapkan tiga lapis pengawasan mulai dari cabang, kantor wilayah, dan melalui internal audit untuk menghindari kejahatan perbankan. ''Dengan tiga lapis pencegahan ini, kami rasa sudah maksima untuk memberikan jaminan kepada nasabah,” ujar Direktur Utama Mandiri, Zulkifli Zaini.

Hal senada juga diutarakan Direktur Mikro Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin menyatakan, kian hari transaksi keuangan semakin besar. “Yang namanya tindakan kriminal akan kita hadapi dan ada,'' ujarnya. Selain fisik, kejahatan perbankan juga muncul di elektronik. ''Fraud juga banyak terjadi di kartu kredit,'' katanya. Karenanya, ke depan Mandiri bersama dua bank lainnya, BCA dan Permata, bakal membuat kartu chip yang menggabungkan kartu kredit dan debit untuk mencegah ini terjadi.

Pengamat Perbankan, Fauzi Ikhsan menyatakan, industri perbankan sangat beresiko tinggi. Kemungkinan terjadi pembobolan oleh oknum pegawai sangat besar. Dia mencontohkan pembobolan uang yang dilakukan oleh seorang pegawai Bank of England beberapa waktu lalu. “Bank itu kurang canggih apalagi pengamanannya, tapi tetap saja bisa ditembus,” katanya.

Menurutnya, bank tersebut kebobolan akibat oleh pegawainya yang bertugas membakar uang kertas lama Inggris. “Setiap hari dia selipkan beberapa uang kertas ke celana dalamnya. Sehingga tidak ada petugas keamanan yang tahu,” katanya. Kasus tersebut terungkap ketika si pegawai membeli sebuah rumah dengan menggunakan uang tersebut.

Fauzi menambahkan, unit bisnis bank yang paling rentan mengalami fraud adalah ritel banking. “Dulu ada penyelewengan LC BNI. Kasus Bapindo oleh Edi Tanzil, dan Bank century,” katanya. Sehingga untuk menghindari resiko tersebut, bank harus menyusun manajemen resiko yang kuat. “Caranya patuhi Basel 2 dan rambu-rambu perbankan lainnya,” tuturnya.

Sayangnya, sistem hukum perbankan Indonesia belum begitu baik. “Kalau ada ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  pengawasan bank mungkin akan lebih baik,” katanya. Namun sejauh ini, pengawasan yang dilakukan BI menurutnya, sudah lebih bagus. “Sekarang memang terlalu banyak regulasi. Tetapi semua itu kan supaya mencegah krisis,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement