REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepindahan Mayjen TNI Purn Muchdi Purwo Pranjono, dari Partai Gerindra ke PPP masih menyisakan tanya hingga saat ini. Berita kepindahannya pun terkesan tiba-tiba, karena tidak ada tanda-tanda keretakan di Gerindra, partai Muchdi sebelumnya, dimana Muchdi menjabat sebagai Wakil Ketua Umum.
Analisis yang sempat berkembang, kepindahannya merupakan sebuah 'permainan' menjelang Pemilu 2014, dengan aktor intelektualnya adalah Letjen TNI Purn Prabowo Subianto, figur sentral di Gerindra. Disebutkan bahwa Muchdi membawa misi khusus ke PPP, untuk menggalang PPP, agar nanti bisa berkoalisi dengan Gerindra pada 2014.
Rasanya memang pas jika Muchdi yang dikirim ke PPP, mengingat Muchdi memiliki latar belakang ormas keislaman, dia lahir dari keluarga Masyumi di Sleman, kini Muchdi aktif di Muhammadiyah, dan saat masih duduk di sekolah menengah juga aktif dalam PII (Pelajar Islam Indonesia). Jadi rasanya memang leluasa, bila Muchdi bergerak di lingkungan ormas atau parpol keislaman.
Misi Muchdi ini bagian dari agenda Prabowo untuk menggalang partai-partai Islam, dan itu sudah berhasil dengan bergabungnya PBR (Partai Bintang Reformasi) ke dalam orbit Gerindra. Sebagaimana aktivitas politik di negeri ini yang selalu diwarnai proses transaksional, tentu telah disiapkan dana khusus untuk menggalang 'poros' parpol keislaman tersebut.
Prabowo sejak aktif di militer, memang dikenal sudah dekat dengan tokoh atau organisasi Islam, semacam Achmad Sumargono dan Farid Prawiranegara (putera dari Sjafrudin Prawiranegara, tokoh PRRI). Bila Muchdi yang dikirim mengemban misi ini, itu juga tak lepas dari latar belakang Muchdi sendiri sebagai figur intelijen. Ingat jabatan terakhir Muchdi di pemerintahan, adalah sebagai Deputi Kepala BIN Bidang Penggalangan.
Kegiatan penggalangan memang habitat Muchdi. Sebagai perwira yang dibesarkan di lingkungan Korps Baret Merah, sebagaimana anggota Kopassus lainnya, kegiatan di bidang intelijen ibarat makanan sehari-hari. Setelah lulus Akmil tahun 1970, Muchdi berdinas di Kopassus, mulai Komandan Peleton Para Komando (1973) hingga Komandan Karsa Yudha (1986), dengan pangkat letkol. Selepas dari Kopassus, Muchdi bertugas di Pusdik Intelijen di Ciomas (Bogor). Di Bogor hanya setahun, selanjutnya Muchdi dipindahkan ke Papua (19871993).
Awalnya sebagai Perwira Pembantu Madya (Pabandya) Operasi di Kodam Cendrawasih, kemudian Dandim Jayapura (1988), berlanjut sebagai Kasrem 173 di Biak (1991). Saat menjadi Dandim Jayapura, Muchdi menangkap Dr. Thomas Wanggai, yang mengklaim sebagai Presiden Republik Melanesia Barat. Dari Kasrem Biak, Muchdi dipindahkan ke Bali, sebagai Asops Kodam Udayana, dengan pangkat kolonel.
Pada akhir 1994, Muchdi ditempatkan di Jambi sebagai Danrem 042/Garuda Putih. Saat di Jambi inilah namanya muncul di tingkat nasional. Pada 7 Oktober 1995, terjadi gempa berkekuatan 7 skala Richter mengguncang Kabupaten Kerinci, Muchdi sebagai Danrem langsung mengerahkan anggotanya untuk mengevakuasi dan menyelamatkan korban. Selama berhari-hari dia berkantor di Kodim Kerinci, sebagai pusat posko penanggulangan bencana.
Selepas bertugas di Jambi, bintang satu diraih Muchdi saat diangkat sebagai Kasdam V/Brawijaya (1996). Bintangnya naik lagi, ketika pada 17 Agustus 1997, ditetapkan sebagai Pangdam VI/Tanjungpura. Di Kalimantan, Muchdi hanya sekitar tujuh bulan, karena pada akhir Maret 1998, Muchdi kembali lagi ke Kopassus, setelah sekitar 12 tahun ditinggalkannya, kali ini menjadi orang nomor satu di Kopassus.
Kemudian, Muchdi menjadi Danjen Kopassus di masa pergolakan, itu sebabnya ia hanya menjabat sekitar dua bulan saja di Cijantung. Selepas Danjen Kopassus, karirnya masih terselamatkan, dia dipindahkan sebagai Deputi Kepala BIN Bidang Penggalangan.
Pada periode inilah Muchdi tersandung kasus Munir, September 2004. Kasus yang masih menjadi 'hutang' banyak pihak, bukan hanya bagi Muchdi dan pemerintahan Presiden SBY, namun juga pemerintahan berikutnya, hingga kasus ini benar-benar tertuntaskan.