REPUBLIKA.CO.ID,Kondisi di Libya saat ini belum banyak mengalami perubahan meski serangan udara dan rudal pasukan asing ke negara ini telah berjalan satu bulan. Sepertinya serangan pasukan NATO tidak banyak berpengaruh pada sikap kubu rakyat revolusioner dan pasukan pro Muammar Qaddafi, sang diktator Libya. Buktinya kedua pasukan ini masih sering terlibat baku tembak dan masing-masing berkuasa di daerah tertentu.
Minimnya pengaruh serangan pasukan NATO dalam memukul mundur pasukan pro Qaddafi membuat para pemimpin kelompok anti Qaddafi di wilayah timur menuding pasukan asing malas melakukan misinya. Mereka menuntut peningkatan serangan udara dan rudal terhadap pasukan pro Qaddafi di wilayah Barat. Demikian dilaporkan IRNA Jum'at (15/4).
Negara-negara Barat khususnya Inggris, Prancis dan Amerika Serikat sebelumnya optimis bahwa serangan udara ke Libya akan membantu rakyat revolusioner anti Qaddafi segera menguasai Tripoli, namun ternyata hal ini bukan saja gagal terealisasi bahkan intervensi asing di negara ini membuat tekad pasukan pro diktator Qaddafi kian kuat untuk melakukan perlawanan.
Kini kubu loyalis Qaddafi memiliki dalih baru, bahwa mereka bukan memerangi saudaranya namun mereka berperang melawan pasukan asing. Di sisi lain, semakin panjang masa perang di Libya, friksi di antara anggota NATO semakin dalam. Tak hanya itu, ambisi Inggris, Prancis dan AS menggelar perang di Libya semakin transparan.
Ketiga negara ini bulan lalu dengan dalih menjaga warga sipil Libya dari kekejaman Qaddafi khususnya yang berada di kawasan timur menekan Dewan Keamanan PBB merilis resolusi no 1973. Resolusi ini menetapkan zona larangan terbang di atas wilayah Libya dan pengiriman bantuan kemanusiaan bagi rakyat negara ini. Tak lama setelah resolusi ini dirilis, rudal dan jet tempur NATO mulai menghujani berbagai kawasan Libya dengan harapan beberapa hari atau pekan, rezim Qaddafi segera runtuh.
Ternyata setelah hampir satu bulan, rezim Qaddafi belum juga runtuh, malah rakyat anti pemerintah pun tidak berhasil menguasai Tripoli. Berulangkali jet-jet tempur NATO salah sasaran. Kondisi ini secara perlahan memunculkan friksi di antara anggota NATO terkait perang di Libya.
AS, Inggris dan Prancis sebagai negara yang menentang Gaddafi meyakini NATO harus menjadi pasukan udara bagi rakyat revolusioner Libya dan mendukung mereka untuk menaklukkan Tripoli. Namun pendapat ini ditentang oleh sejumlah anggota NATO, bahkan juga sejumlah komandan operasi NATO. Kelompok ini menilai bahwa misi utama NATO adalah menjalankan resolusi 1973 Dewan Keamanan dalam melindungi rakyat sipil dan tak lebih dari itu.