REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Pemerintah Suriah telah berhasil keluar dari pemberontakan terburuk selama tujuh pekan, kata seorang pejabat senior mengatakan kepada The New York Times dalam wawancara pada Senin. "Saya harap kita saksikan akhir cerita ini," kata Bouthaina Shaaban, seorang penasehat Presiden Bashar al-Assad yang sering merangkap juru bicara, kepada surat kabar Amerika Serikat itu dalam wawancara satu jam.
"Saya kira sekarang kita telah melewati saat yang paling berbahaya. Saya berharap demikian, saya pikir begitu," kata Shaaban memberikan sekilas pola pikir rezim 40 tahun yang telah melarang sebagian besar wartawan asing dari Suriah sejak awal pemberontakan.
"Kami ingin menggunakan apa yang terjadi dengan Suriah sebagai peluang," tambah Shaaban. "Kami melihatnya sebagai kesempatan untuk mencoba bergerak maju dalam berbagai tingkatan, terutama tingkat politik."
Wartawan Times diizinkan berada di negara itu selama beberapa jam, kata laporan itu menambahkan. Sementara itu Uni Eropa mengatakan, embargo senjata dan sanksi terhadap 13 pejabat Suriah yang dianggap bertanggung jawab atas penindasan brutal rezim terhadap para demonstran akan mulai berlaku pada Selasa.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluh bahwa pihak berwenang Suriah memblokir salah satu timnya untuk memasuki kota selatan Daraa, pusat protes, dan menyuarakan kepedulian terhadap nasib para pengungsi Palestina di sana.
Militer Suriah melancarkan aksi di Banias dan Homs setelah mengakhiri penguncian 10-hari di mana puluhan orang tewas dan sejumlah orang ditahan di Daraa.
Shabaan mengatakan kepada Times: "itu artinya, anda tidak bisa bersikap sangat bagus terhadap orang-orang terkemuka pemberontak bersenjata."
Kelompok-kelompok HAM mengatakan lebih dari 600 orang telah tewas dan 8.000 lainnya dipenjarakan atau hilang dalam penindasan selama delapan pekan terhadap para demonstran. Komite para Syuhada pada Revolusi 15 Maret menyatakan korban tewas mencapai 708 orang.