REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartarto, mengakui sejak awal pembelian pesawat China jenis MA-60 sudah kontorversial. Pembelian pesawat tersebut pun menjadi senjata bagi China dalam berbagai proses perundingan dengan Indonesia.
Sejak awal pembelian, Airlangga menyebutkan posisi Indonesia terhadap China memang sudah cukup lemah.
"Sejak awal negoisasi kita memang lemah," ujarnya ketika dihubungi Republika pada Selasa (10/5).
Airlangga menjelaskan setiap Indonesia mempermasalahkan pesawat MA-60, maka upaya renegoisasi apakah Gas Tangguh ataupun ASEAN China Free Trade Agreement atau apapun itu akan menjadi sulit dilakukan.
Begitupula upaya pengerjaan Pembangkit Listrik 10 ribu mega watt juga sempat tersendat ketika pemerintah mempermasalahkan itu. Sebagaimana diketahui, China memberikan pinjaman bagi Indonesia dalam pembangunan pembangkit tersebut. "Tapi, ketika pembelian itu tidak lagi masalah, baru perundingan itu bisa berjalan," jelasnya.
Pada 2006, Merpati dan Xian Aircraft Industry Co Ltd (XAC) menandatangani kontrak pembelian 15 MA-60 yang hingga kini sudah terkirim 13 pesawat. Pesawat yang diklaim efisien dan memenuhi standar internasional ini akan menggantikan Fokker 27 dan 100 serta CN-235.
Namun dalam perjalanannya, pemerintah sempat mempermasalahkan pesawat China itu baik dari sisi harga maupun kualitas. Dari sisi harga, Merpati membeli dengan harga 15,4 juta dolar AS per pesawat. Padahal, harga pasaran pesawat itu hanya 11 juta dolar AS. Secara kualitas MA-60 buatan Xian Aircraft asal China sempat bermasalah karena keretakan di rudder (sayap bagian belakang pesawat).