Senin 04 Jul 2011 10:10 WIB

Disarankan Akhiri Konflik, Pemberontak Libya Menolak Mentah-Mentah

Red: cr01
Pemberontak Libya dan warga sipil saat menunaikan shalat Jumat di Benghazi, Libya.
Foto: AP
Pemberontak Libya dan warga sipil saat menunaikan shalat Jumat di Benghazi, Libya.

REPUBLIKA.CO.ID, BENGHAZI – Pemberontak Libya menolak rencana Uni Afrika (AU) yang menyarankan diakhirinya konflik yang berlangsung di negara Afrika Utara tersebut. Mereka bersikukuh menuntut pengunduran diri pemimpin Libya, Muammar Qaddafi.

Juru bicara bagi kelompok pemberontak Dewan Peralihan Nasional (NTC), Abdel Hafiz Ghoga, mengatakan rencana AU tersebut tak diterima, sebab rencana itu tak menyeru Qaddafi agar meletakkan jabatan. "NTC menolak semua usul yang tak meliputi kepergian Qaddafi dan lingkarannya," kata Ghoga sebagaimana dilaporkan Xinhua, Ahad (3/7).

Setelah Pertemuan Puncak AU ke-17 yang diselenggarakan di Malabo, ibukota Equatorial Guinea, Kamis (30/6), AU menyerahkan usulnya kepada delegasi yang menghadiri konferensi AU tersebut. Perhimpunan regional itu mendesak kedua pihak agar mengikuti peta jalan atau rencana AU guna menghentikan permusuhan dan segera memulai pembicaraan.

Dalam rencana perdamaiannya, AU menyarankan kerangka waktu bagi perundingan antara pemberontak dan pemerintah Libya mesti dibatasi paling lama 30 hari. Sementara itu, masyarakat internasional mesti membantu memfasilitasi proses tersebut.

Usul AU itu juga meliputi penerapan embargo senjata di Libya sampai berakhirnya masa peralihan dan penerapan reformasi yang diperlukan untuk mewujudkan tuntutan sah rakyat Libya. Termasuk penyelenggarakan pemilihan umum di bawah pantauan internasional.

Namun usul AU itu tidak menyinggung tentang mundurnya Qaddafi—prasyarat yang ditetapkan oleh oposisi Libya guna mencapai gencatan senjata. "Baru-baru ini, NTC telah menerima beberapa usul yang tidak resmi dan tidak dilandasi atas kepergian rezim Qaddafi, yang takkan kami terima," kata Ghoga.

AU juga mendesak masyarakat internasional agar mengirim pengamat ke negara Afrika Utara tersebut, membentuk badan pemantau yang dapat dipercaya dan efisien dan meningkatkan bantuan kemanusiaan. Kebuntuan di medan tempur telah memicu tekanan yang meningkat dari negara di luar aliansi pimpinan NATO, yang menuntut penyelesaian konflik dilakukan melalui perundingan.

sumber : Antara/Xinhua-OANA
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement